Sidik Kamseno (40), seorang nelayan kepiting, ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di Sungai Bangke, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Minggu (8/12/2019). Korban diduga dimangsa buaya muara saat memancing.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
BANYUASIN, KOMPAS — Sidik Kamseno (40), seorang nelayan kepiting, ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di Sungai Bangke, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Minggu (8/12/2019). Korban diduga dimangsa buaya muara saat memancing kepiting. Kasus ini menambah panjang peristiwa konflik antara manusia dan satwa liar di Sumsel.
Kejadian ini bermula saat Sidik, warga Desa Pagar Bulan, Kecamatan Rantau Bayur, bersama sejumlah nelayan lain memancing kepiting di Sungai Bangke. Daerah yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang itu juga merupakan habitat buaya muara.
Kepala Seksi Wilayah II Taman Nasional Berbak Sembilang Afan Absori, Senin (9/12/2019), mengatakan, Sidik merupakan nelayan tradisional yang memang sudah biasa mencari kepiting di kawasan tersebut. ”Aktivitas ini sudah rutin dilakukan para nelayan dan mereka juga tahu sungai tersebut merupakan sarang buaya muara,” kata Afan.
Saat ditemukan, jenazah Sidik tidak utuh lagi. Diduga dia dimangsa buaya muara.
Mulanya, Sidik berangkat menggunakan kapal dengan nelayan lain satu kelompok. Satu kelompok terdiri atas 3-7 nelayan. Untuk memasuki anak sungai, biasanya para nelayan berpencar menggunakan perahu yang lebih kecil.
Hanya saja, pada sore hari, saat semua nelayan sudah kembali ke kapal induk, Sidik belum juga kembali. Curiga, nelayan lain memutuskan untuk mencari Sidik. ”Mereka dibantu oleh kelompok nelayan lain yang juga mencari kepiting di lokasi tersebut,” kata Afan.
Proses pencarian membutuhkan waktu lama karena lokasi yang cukup jauh. Mereka kemudian menemukan perahu yang dipakai Sidik dalam kondisi kosong. Tak jauh dari perahu tersebut, mereka menemukan jenazah Sidik di pinggir sungai yang merupakan kawasan tanaman bakau. ”Saat ditemukan, jenazah Sidik tidak utuh lagi. Diduga dia dimangsa buaya muara,” kata Afan.
Kejadian buaya yang memangsa orang di Sungai Bangke bukan pertama kali terjadi. Beberapa tahun lalu, kejadian serupa pernah terjadi. Hanya saja, warga tetap memancing di kawasan tersebut. ”Mereka juga kerap kali melihat buaya muncul di permukaan sungai,” katanya.
Namun, lanjut Afan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena mencari kepiting dan ikan sudah menjadi penghidupan warga. ”Saya juga yakin mereka (nelayan) sudah mengetahui risikonya,” katanya.
Selain sebagai sarang buaya, lokasi tersebut juga merupakan habitat bagi sejumlah hewan dilindungi, seperti harimau sumatera dan sejumlah spesies burung. ”Itulah sebabnya, kami sudah berulang kali mengingatkan mereka untuk tidak mencari ikan di lokasi itu, tetapi tetap tidak dihiraukan,” ucap Afan.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumsel Genman Suhefti Hasibuan menuturkan, kejadian ini menambah panjang konflik manusia dengan satwa liar di Sumsel. Sebelumnya, konflik terjadi di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Lahat antara manusia dan harimau sumatera.
Ada pula konflik manusia dengan beruang madu di Kabupaten Ogan Komering Ulu. ”Sepanjang tahun ini ada 28 kasus konflik manusia dengan satwa yang telah menelan delapan korban jiwa,” kata Genman.
Kebanyakan konflik terjadi karena manusia masuk ke habitat satwa tersebut, seperti yang menimpa Sidik. ”Memang, biasanya di mana ada buaya, di sana pasti banyak ikan. Itulah yang dicari nelayan,” ujarnya.
Menurut Genman, sebenarnya satwa tidak memiliki sifat untuk menyerang manusia, kecuali terdesak. Namun, akhir-akhir ini banyak sekali aktivitas manusia di habitat satwa. Untuk itu, perlu ada kebijakan lanjutan guna mencegah hal ini terulang. ”Jangan sampai ada korban lagi karena konflik ini,” katanya.