Usaha Kuliner Batam Terimbas Kekhawatiran Demam Babi
Dugaan merebaknya wabah demam babi afrika di Sumatera Utara berdampak juga terhadap perekonomian di Batam, Kepulauan Riau. Usaha kuliner lesu karena penyakit itu membuat warga takut menyantap daging babi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Dugaan merebaknya wabah demam babi afrika atau african swine fever (ASF) di Sumatera Utara berdampak juga terhadap perekonomian di Batam, Kepulauan Riau. Usaha kuliner lesu selama tiga bulan terakhir karena penyakit itu membuat warga takut menyantap daging babi.
Pemilik Rumah Makan Andaliman Balian Lapo, Saut Hutapea (55), Senin (9/12/2019), mengatakan, kini tidak ada peningkatan omzet seperti yang biasanya terjadi jelang Natal dan Tahun Baru. Padahal, permintaan olahan daging babi normalnya akan melonjak lebih dari dua kali lipat pada Desember.
Walaupun di berita sudah ditulis penyakit itu tidak menular ke manusia, warga tetap geli melihat bangkai babi di sungai.
“Walaupun di berita sudah ditulis penyakit itu tidak menular ke manusia, warga tetap geli melihat bangkai babi di sungai. Itu sebabnya banyak yang sementara berhenti makan babi,” kata Saut.
Pemilik Rumah Makan Khas Batak Tobing, Rina (30), mengatakan, sekarang pelanggan yang datang lebih banyak memilih untuk menyantap jenis menu lain. Padahal, menu andalan di rumah makan Tobing itu adalah masakan berbahan daging babi.
“Memang ada penurunan, tetapi tidak drastis seperti yang di Sumut. Pelanggan di sini masih makan daging babi, hanya saja intensitasnya tidak sebanyak biasanya,” ujar Rina.
Salah satu pelanggan, Sarma Haratua (31), mengatakan, tetap makan daging babi karena tahu ASF tidak bisa menular ke manusia. Namun, ia juga menyatakan, kekhawatiran menyantap daging babi yang terjangkit tetap ada. Itu sebabnya, selama beberapa bulan, ia mengurangi konsumsi babi.
Meskipun belakangan masakan daging babi peminatnya menurun di Batam, harga daging babi di pasaran tidak mengalami perubahan. Untuk daging bagian perut yang berkualitas baik masih dijual dengan harga normal, yaitu antara Rp 95.000 hingga Rp 115.000 per kilogram.
“Harga di pasar masih tetap normal karena itu daging babi yang bukan dari Sumut. Sekarang, tidak ada orang Batam yang masih mau makan daging dari sana, takut ketularan,” kata Saut.
Daging babi yang kini banyak dimanfaatkan rumah makan di Batam berasal dari peternakan babi PT Indotirta Suaka di Pulau Bulan. Sejak 1986, pulau itu dikhususkan menjadi satu-satunya lokasi peternakan babi di Batam. Populasi babi di sana saat ini mencapai lebih kurang 230.000 ekor.
Peternakan itu merupakan salah satu eksportir babi terbesar di Indonesia. Dalam sehari, sekitar 900 babi diekspor ke Singapura. Laman Badan Karantina Pertanian menunjukkan, sepanjang 2018, peternakan itu mengekspor 271.000 ekor babi ke Singapura. Nilainya diperkirakan Rp 1,1 triliun.
Ternak di Pulau Bulan aman dari penyakit karena kami memberlakukan biosekuriti yang sangat ketat.
Manajer Biosekuriti dan Pencegahan Penyakit PT Indotirta Suaka Drh Paulus Mbolo menegaskan, belum ada ternak yang mati terjangkit ASF di Pulau Bulan. “Ternak di Pulau Bulan aman dari penyakit karena kami memberlakukan biosekuriti yang sangat ketat,” katanya.
Pengawasan lalu lintas barang dan manusia di Pulau Bulan pun kini lebih ditingkatkan. Para pekerja dilarang membawa segala jenis makanan saat menginjakkan kaki di peternakan. Rencana impor sperma babi varietas unggul dari Denmark juga ditunda guna membatasi interaksi dengan dunia luar.
Sebelumnya, Kepala Badan Karantina Pertanian Kelas I Batam Joni Anwar menyatakan, Dinas Pertanian Kepri telah melarang daging babi dari Sumut masuk ke Kepri. Pelabuhan resmi di Batam, yaitu Pelabuhan Batu Ampar dan Pelabuhan Sekupang, juga telah diawasi dengan ketat oleh petugas.
Adapun yang masih menjadi kendala adalah pengawasan ternak babi skala kecil yang tersebar di Kecamatan Nongsa, Batu Aji, dan sepanjang jembatan penghubung Batam-Rempang-Galang. Puluhan peternakan babi di sejumlah lokasi itu dikelola warga yang kebanyakan tinggal di permukiman liar.