Pengawasan Perbatasan dengan Timor Leste Diperketat
Nusa Tenggara Timur mewaspadai masuknya virus demam babi Afrika dari Timor Leste. Setiap pintu masuk perbatasan dan ”jalan tikus” dijaga ketat. Langkah itu untuk melindungi 3 juta populasi babi di NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Nusa Tenggara Timur mewaspadai masuknya virus demam babi afrika (African swine fever/ASF) dari Timor Leste. Setiap pintu masuk perbatasan dan ”jalan tikus” dijaga ketat. Langkah itu untuk melindungi 3 juta populasi babi di NTT.
Kepala Dinas Peternakan NTT Dannya Suhadi di Kupang, Selasa (10/12/2019), mengatakan, Timor Leste sudah terjangkit virus demam babi Afrika sejak Agustus 2019. Sejak kasus itu terungkap oleh Pemerintah Timor Leste, Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah pusat terus melakukan pengawasan terhadap semua pintu di perbatasan RI-Timor Leste di NTT.
Populasi ternak babi di NTT sekitar 3 juta ekor atau 25 persen dari seluruh populasi ternak babi di Indonesia.
”Kita semua dalam keadaan waspada tinggi terhadap virus ini. Populasi ternak babi di NTT sekitar 3 juta ekor atau 25 persen dari seluruh populasi ternak babi di Indonesia. Di Pulau Timor bagian barat, Flores, dan Pulau Sumba masing-masing terdapat sekitar 800.000 babi. Sisa 600.000 ekor tersebar di Pulau Rote, Sabu, Lembata, dan Pulau Alor,” kata Danny.
Perwakilan Pemerintah RI yang berada di setiap pintu masuk perbatasan RI-Timor Leste, seperti Bea Cukai, Imigrasi, Polri, dan TNI, secara ketat memantau masuknya ternak babi ataupun daging babi ke Indonesia. Hal serupa juga dilakukan di setiap jalan tikus atau jalan setapak yang selama ini juga menjadi akses lintas batas masyarakat kedua negara.
Para ketua rukun tetangga/rukun warga, kepala desa, babinsa, dan warga di setiap desa di perbatasan pun diingatkan agar tidak memasukkan ternak babi atau daging babi dari Timor Leste. Pemda telah mengedarkan surat terkait larangan itu kepada setiap kepala desa dan camat di perbatasan.
Danny mengatakan, kekhawatiran tertinggi pemerintah adalah masuknya daging babi dari Timor Leste ke desa-desa di perbatasan seusai mengikuti pesta adat di wilayah Timor Leste. Kekhawatiran lain, masyarakat Timor Leste membawa daging babi untuk anggota keluarga di wilayah RI. Warga NTT dan Timor Leste di sepanjang perbatasan banyak berbagi ikatan kekeluargaan dan sosial-budaya.
Salah satu persyaratan dalam adat setempat, semua anggota keluarga harus menikmati daging babi yang sama dalam suatu acara adat. Jika menolak mengonsumsi daging babi, ada keyakinan bakal mendapat kutukan dari leluhur. Kegiatan adat antara masyarakat kedua wilayah di perbatasan sangat tinggi. Hampir setiap pekan selalu ada pesta adat, baik di wilayah RI maupun di Timor Leste.
Gejala ASF pada babi mirip dengan penyakit hog cholera. ”Tetapi, hog cholera bisa diobati dengan vaksin seperti coglapest. Sementara ASF tidak ada obatnya sama sekali sehingga potensi kematian jauh lebih tinggi dibandingkan hog cholera. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian menggerakkan semua wilayah di Indonesia untuk mencegah masuknya ASF ini,” kata Danny.
Penyakit ASF saat ini sedang menyerang babi di China, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Myanmar, dan Timor Leste. Di Indonesia, ASF diduga sudah masuk di Sumatera Utara. NTT sangat khawatir penyebaran virus ASF dari Timor Leste. Jika virus ini masuk NTT, potensi kerugian yang dialami peternak bisa sampai Rp 15 triliun dengan asumsi satu babi dengan bobot 40-50 kilogram dihargai Rp 5 juta.
Simeon Bere (53), peternak babi di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, mengatakan telah mendapat imbauan dari aparat desa setempat mengenai virus tersebut. Namun, dalam upaya pencegahan, ia melihat tidak semua warga memiliki semangat dan komitmen yang sama.
Bahkan, ia mengatakan, sejumlah warga bersikap masa bodoh dan membiarkan ternak babi dari Timor Leste masuk melalui jalur tikus ke wilayah RI karena kecewa terhadap pelayanan pemerintah. Misalnya, soal ketidakadilan dalam pembagian beras untuk rumah tangga miskin, dana bantuan keluarga harapan, serta pembagian Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. ”Ketidakadilan seperti ini menyebabkan masyarakat tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi meskipun yang rugi adalah masyarakat sendiri,” kata Bere.
Harus ada sanksi tegas terhadap mereka yang sengaja memasukkan babi ke wilayah RI. Imbauan saja tidak cukup.
Anggota DPRD NTT, Ana Waha Kolin, mengatakan, pemerintah tidak boleh hanya berwacana soal pengawasan ternak babi dan daging babi dari Timor Leste. Upaya pengawasan perlu dilakukan dengan turun langsung di lapangan, melakukan pengecekan, dan diskusi dengan masyarakat di perbatasan sehingga warga memiliki kepekaan terhadap masalah ini.
”Harus ada sanksi tegas terhadap mereka yang sengaja memasukkan babi ke wilayah RI. Imbauan saja tidak cukup. Urusan adat dan hubungan sosial antara masyarakat perbatasan kedua negara cukup tinggi. Proses kawin-mawin, adat kematian, adat ulang tahun anak sulung, pembangunan rumah, sukses dalam tugas, dan adat lain, semua ini harus dilaksanakan dengan hewan babi,” kata Kolin.