Parit Pembatas Area Jelajah Gajah Liar di Aceh Mendesak
Pembuatan parit pembatas untuk menghalau gajah liar di Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, sudah mendesak. Warga resah dengan kehadiran gajah yang kian mendekati permukiman.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
REDELONG, KOMPAS — Pembuatan parit pembatas untuk menghalau gajah liar masuk ke permukiman di Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, sudah mendesak. Konflik satwa dan manusia di kawasan itu semakin masif. Bahkan, kawasan gajah liar sudah melintasi jalan nasional sehingga mengancam warga.
Camat Pintu Rime Gayo Eddi Irwansyah, Rabu (11/12/2019), menuturkan, setelah beberapa malam tidur di kantor kecamatan sejak kejadian pekan lalu itu, warga kini mulai kembali ke rumah masing-masing. Namun, mereka masih khawatir gajah liar kembali ke kawasan permukiman. ”Warga sangat waswas dan bersiaga,” katanya.
Eddi menyebutkan, konflik satwa dan manusia di Pintu Rime Gayo sangat menakutkan. Pada Sabtu, 7 Desember, sebanyak 23 gajah liar menguasai jalan nasional Bireuen-Takengon, tepatnya di Enang-enang. Aktivitas warga dan arus transportasi pun terhambat. Warga terpaksa mengusir gajah liar menggunakan petasan.
Namun, lanjut Eddi, meski gajah telah kembali ke hutan, warga masih ketakutan terutama pada malam hari. Mereka pun melakukan patroli agar bisa cepat menyelamatkan diri jika kawanan gajah kembali ke permukiman.
Akhir bulan lalu, empat rumah warga di Desa Rimba Raya rusak karena diamuk gajah. Komoditas perkebunan seperti tanaman kopi, pinang, dan palawija juga rusak. Kerugian ekonomi tak terhindarkan. ”Warga berharap, para pihak mencari solusi jangka panjang supaya masalah ini terselesaikan,” kata Eddi.
Sementara itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto menuturkan, untuk mencegah gajah liar masuk ke permukiman, perlu dibuat parit pembatas antara area perkebunan dan wilayah habitat gajah.
”Perlu pembuatan barrier sekitar 6 kilometer. Pembatasbuatan ini akan mengikuti barrier alami,” kata Agus.
Ia berharap, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah bersedia mengalokasikan anggaran untuk pembangunan parit di Negeri Antara. BKSDA Aceh, lanjut Agus, hanya memiliki anggaran untuk penggiringan. ”Jangan hanya berharap pada BKSDA Aceh, persoalan konflik satwa harus melibatkan semua pihak,” katanya.
Pemicu konflik gajah, menurut Agus, karena habitat satwa lindung itu mulai sempit. Alih fungsi lahan di koridor Peusangan-Takengon menjadi perkebunan sawit memicu gajah masuk ke permukiman.
Direktur Conservation Response Unit atau Pusat Mitigasi Konflik Satwa Aceh Wahdi Azmi menuturkan, selain pembangunan parit, pihaknya juga telah memasang kalung deteksi atau GPS collar pada gajah liar. Tujuannya, posisi kawanan gajah diketahui keberadaannya sehingga saat mendekati kawasan permukiman, gajah dapat cepat ditangani.
Peta jelajah gajah yang terdeteksi oleh GPS collar menjadi landasan pembuatan jalur pembatas. ”Saat ini sudah ada lima gajah yang dipasang GPS collar,” kata Wahdi.