Sekitar 100.000 hektar lahan di daerah aliran sungai Cimanuk dan Citanduy, yang membentang di Jawa Barat hingga Jawa Tengah, dalam kondisi kritis. Longsor dan banjir pun mengancam.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Sekitar 100.000 hektar lahan di daerah aliran sungai Cimanuk dan Citanduy, yang membentang di Jawa Barat hingga Jawa Tengah, dalam kondisi kritis. Bencana longsor dan banjir pun mengancam.
“Lahan kritis di wilayah kami memang cukup luas. Sekitar 100.000 hektar lahan perlu dihijaukan,” kata Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Cimanuk-Citanduy Rukma Dayadi, saat menghadiri acara Gerakan Nasional Pemulihan DAS di Hutan Kota Sumber, Kabupaten Cirebon, Jabar, Kamis (12/12/2019).
Lahan kritis yang gundul umumnya terjadi akibat pembukaan lahan untuk usaha tani yang merusak, seperti penanaman sayuran di lahan miring.
Turut hadir Bupati Cirebon Imron Rosyadi, yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cirebon, dan Ketua HKTI Jabar Nu’man Abdul Hakim. Secara simbolis juga dilakukan penanaman 30 pohon berbagai jenis.
Rukma mengatakan, lahan kritis yang gundul umumnya terjadi akibat pembukaan lahan untuk usaha tani yang merusak, seperti penanaman sayuran di lahan miring. Padahal, daerah tersebut seharusnya ditanami pohon keras. Wilayah BPDASHL Cimanuk-Citanduy tersebar di 14 kabupaten/kota di Jabar dan tiga kabupaten di Jateng dengan luas total 1,7 juta hektar.
Secara nasional, lahan kritis mencapai 14 juta hektar yang tersebar di 17.000 DAS, termasuk Cimanuk-Citanduy. Kondisi ini perlu dipulihkan melalui penanaman pohon, pembuatan bangunan pengendali erosi, serta mengedukasi masyarakat di sekitar DAS.
Jika tidak, lanjut Rukma, longsor dan banjir mengancam masyarakat. “Ini sudah sering terjadi. Ketika air sungai itu cokelat, artinya sedimentasinya tinggi. Ini karena lahan kritis,” katanya.
Untuk itu, pihaknya mengklaim mampu memproduksi rata-rata 2 juta bibit pohon per tahun. Batang pohon itu lalu distribusikan untuk ditanami di lahan kritis. Namun, Rukma mengatakan, dukungan pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk mengajak masyarakat membuka usaha tani yang tidak merusak.
Sementara itu, Imron Rosyadi mengatakan, selama ini, saat musim kemarau, Cirebon gersang, rentan kebakaran, dan krisis air bersih. Pada Agustus lalu, misalnya, sebanyak 55.915 warga di 16 desa terdampak krisis air bersih.
Sebaliknya, saat musim hujan, Cirebon terancam banjir. Pada Februari 2018, sebanyak 38 desa di enam kecamatan di bagian timur Cirebon terendam banjir. Tiga warga meninggal dan 50.080 orang terdampak banjir. Sebanyak 20 titik tanggul jebol.
“Oleh karena itu, kita mesti menanam pohon. Kami sudah melakukannya. Tetapi, pohon yang ditanam ikut terbakar. Dinas Lingkungan Hidup harus memeliharanya. Ini yang terpenting,” kata Imron.
Nu’man Abdul Hakim menilai, lahan kritis akan merugikan masyarakat. Hal ini mengingat masalah ke depan adalah jumlah penduduk semakin bertambah sedangkan pangan dan hutan semakin berkurang.
“Seharusnya, pemerintah daerah membuat kebijakan penanaman satu pohon satu orang. Cirebon, misalnya, bisa menanam lebih dari 2 juta pohon setiap tahun. Bupati boleh berganti lima tahun, tetapi pohon tidak,” ungkapnya.