Maret 2018 adalah masa pilu bagi warga permukiman di aliran Sungai Cipamokolan, Bandung bagian timur. Saat itu, permukiman mereka diterjang banjir disertai lumpur hingga lebih dari 1 meter yang memaksa warga mengungsi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
Tisna (49), warga RT 04, RW 04 Kelurahan Pasirlayung, Kecamatan Cibeunying Kidul, Kota Bandung, adalah salah satu korban banjir itu. Posisi rumahnya kurang lebih 10 meter dari tepi Sungai Cipamokolan.
Lumpur banjir masuk hingga setinggi lebih dari satu meter ke dalam rumahnya. Sebagian dinding rumah warga pun roboh diterjang air. Tisna bersama lima anggota keluarga lain pun tak lagi memiliki tempat tinggal.
Kami belum tahu bagaimana tanda-tanda banjir seperti tahun lalu. Jadi, kami memilih pergi dan akan kembali lagi jika hujan reda.
Kamis (12/12/2019, ditemui di depan rumahnya, Tisna menuturkan, sejak banjir melanda daerahnya tahun lalu, ia sekeluarga selalu khawatir jika hujan deras datang. Ia sangat khawatir karena belum juga mengenal tanda-tanda bencana. Karena itu, saat hujan deras melanda, mereka memilih meninggalkan rumah karena takut terjadi banjir serupa.
Hingga saat ini, warga kampung itu belum pernah mendapatkan pengetahuan terkait mitigasi bencana di daerah itu. Beberapa jalur evakuasi yang diperlukan juga belum dibicarakan bersama petugas kebencanaan.
“Kami belum tahu bagaimana tanda-tanda banjir seperti tahun lalu. Jadi, kami memilih pergi dan akan kembali lagi jika hujan reda. Biasanya kami memilih bertahan di pinggir Jalan Sirnagalih yang lebih tinggi,” ujar Tisna. Jalan tersebut berjarak kurang lebih 200 meter dari rumahnya.
Warga lain, Kasyamah (49) warga RT 03, RW 16 Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati menuturkan, banjir tahun lalu membuat usaha pengolahan tempenya rugi hingga Rp 30 juta. Ia khawatir banjir bandang yang membawa lumpur itu terulang kembali.
“Kami ingin pindah, tapi tidak tahu mau ke mana. Khawatir dan takut itu ada, tetapi kami hanya bisa pasrah dan berlari ke tempat yang lebih tinggi kalau banjir serupa terjadi,” ujarnya.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jabar Didi Adji Siddik menuturkan, penyebab utama banjir di daerah tersebut adalah berkurangnya resapan air akibat perubahan fungsi lahan. Kondisi itu mengakibatkan beberapa daerah di bagian kaki pegunungan hingga aliran sungai memiliki risiko bencana.
Sebagai langkah antisipasi, Didi mengimbau petugas wilayah memberi bekal mitigasi kepada warga di daerah terdampak. Kewaspadaan warga dibutuhkan untuk menghindari munculnya korban akibat banjir tersebut. “Kami siap membantu dan menunggu koordinasi dari petugas kewilayahan, karena mereka yang menentukan,” tuturnya.
Sebagian besar kawasan hulu sungai diubah menjadi lahan pertanian dan perumahan. Kawasan itu ada di kawasan pegunungan wilayah Kecamatan Ujungberung, Cibiru, Cidadap, Sukasari, dan Cibeunying Kaler untuk daerah Bandung. Adapun untuk kawasan Kabupaten Bandung, risiko gerakan tanah berada di kawasan Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang, dan Cileunyi.
Di sisi lain, di kawasan Bandung Barat, daerah berpotensi gerakan tanah ada di Kecamatan Cikalongwetan, Parongpong, Cisarua, Lembang, dan Ngamprah. “Daerah dengan alih fungsi lahan memiliki kerentanan longsor yang tinggi, terutama di puncak musim hujan. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada vegetasi berupa tanaman keras yang mengikat air hujan,” ucapnya.