Kejati Sultra telah mengembalikan berkas tersangka Brigadir AM dalam kasus tewasnya Randi (22), mahasiswa Universitas Halu Oleo, pada September lalu.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara telah mengembalikan berkas tersangka Brigadir AM dalam kasus tewasnya Randi (22), mahasiswa Universitas Halu Oleo, pada September lalu. Kejaksaan meminta agar penyidik kepolisian memperkuat bukti, salah satunya perihal peluru yang menewaskan Randi.
Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Sultra Suwarjana menyebutkan, pengembalian berkas perkara tersangka Brigadir AM terkait ketidakyakinan jaksa terhadap bukti dari kepolisian. Barang bukti peluru yang diduga mengenai dan menewaskan Randi itu dirasa belum begitu kuat.
Setelah dipelajari, (kami) bimbang dengan alat bukti tersebut.
”Pengembalian berkas perkara Brigadir AM, juga termasuk peluru yang ditemukan itu apakah yang mengenai Randi atau bukan. Sebab, meski peluru tersebut identik dengan peluru dari senjata tersangka, tapi apa betul peluru tersebut yang benar menembus Randi?” kata Suwarjana, di Kendari, Sultra, Senin (16/12/2019).
Oleh karena itu, lanjut Suwarjana, pihaknya telah menyampaikan sejumlah poin yang perlu dilengkapi oleh kepolisian. Keterangan saksi dan keterangan ahli diperlukan untuk dilengkapi dalam berkas perkara. ”Setelah dipelajari, (kami) bimbang dengan alat bukti tersebut,” katanya.
Kepala Kejati Sultra Raden Febrytriyanto menyebutkan, dengan pengembalian berkas perkara tersebut, ada waktu 14 hari bagi penyidik kepolisian untuk melengkapi bukti sesuai aturan yang berlaku. Pihaknya berjanji akan mengawal secara transparan kasus ini hingga tuntas.
Berkas perkara tersangka Brigadir AM, yang diduga melakukan penembakan hingga menewaskan Randi, telah dikembalikan ke pihak kepolisian pada Jumat, 13 Desember. Berkas tersebut sebelumnya diterima pada akhir November dan dipelajari selama kurang dari 14 hari.
Brigadir AM adalah satu dari enam aparat kepolisian yang membawa senjata api dalam pengamanan unjuk rasa mahasiswa pada 26 September lalu. Unjuk rasa kala itu terkait penolakan mahasiswa terhadap sejumlah legislasi kontroversial, termasuk Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Enam orang aparat ini sebelumnya telah dihukum disiplin selama 21 hari akibat melanggar aturan yang ditetapkan. Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang menjabat ketika itu melarang semua anggota Polri untuk membawa senjata api, terlebih menembakkannya dengan peluru tajam.
Dalam aksi tersebut, Randi meninggal setelah terkena tembakan di dada kiri yang tembus ke dada kanan. Seorang mahasiswa lainnya, Muhammad Yusuf Kardawi (19), juga meninggal akibat luka parah di kepala. Temuan Kontras, Yusuf juga meninggal akibat luka tembakan di kepala.
Kepala Subdirektorat Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polda Sultra Komisaris Dolvi Kumaseh menuturkan, pihaknya telah menerima pengembalian berkas perkara oleh kejaksaan, termasuk sejumlah poin yang menjadi catatan. Beberapa poin tersebut adalah tambahan keterangan saksi, juga pelaksanaan rekonstruksi ulang.
”Jadi, kami akan meminta keterangan tambahan dari beberapa saksi terkait kejadian yang menyebabkan Randi meninggal. Untuk pelaksanaan rekonstruksinya akan dilakukan oleh Bareskrim Polri, kami hanya mendampingi,” ucap Dolvi.
Sejauh ini, kata Dolvi, kepolisian terus bekerja untuk mengungkap kasus ini. Akan tetapi, saat ditanyakan terkait kelanjutan penyidikan meninggalnya Yusuf, Dolvi menyampaikan belum mendapat perkembangan terkait hal tersebut.
Nama Yusuf dan Randi beberapa waktu lalu diabadikan di sebuah ruangan di Gedung KPK, Jakarta. Pihak keluarga dan sejumlah pihak lain pun mendesak agar kepolisian bekerja cepat untuk menuntaskan kasus ini seterang-terangnya dan menghukum pelaku sesuai aturan yang berlaku.