Sekelompok ibu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menolak takluk dalam keterpurukan akibat bencana. Mereka bersatu untuk membalik nestapa menjadi asa.
Oleh
Videlis Jemali
·5 menit baca
Pascabanjir bandang yang disertai lumpur akhir April 2019, sebagian besar warga Desa Bangga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, kehilangan sandaran penghasilan. Tanaman perkebunan pelan-pelan mati karena terendam lumpur. Di tengah kondisi kalut itu, sekelompok ibu meretas jalan kecil membuka usaha produktif.
Mata Nuraida (48) awas ke bagian penampung kelapa parutan. Begitu kelapa yang sudah diparut itu tinggal sedikit, cekatan ia mencedok dengan piring plastik serbuk kelapa dari baskom. Kadang tiga cedokan, tetapi sering kali dua cedokan. Tak lupa ia menyiram kelapa-kelapa parutan itu dengan air bersih.
Rabu (11/12/2019), mendung menaungi wilayah Desa Bangga. Nuraida tak bersimbah peluh mengisi kelapa parutan ke mesin peras. ”Padahal, biasanya penuh keringat karena matahari panas,” ujarnya sambil tetap tak melepas pandangan dari penampung kelapa di mesin peras kelapa.
Cuaca siang itu benar-benar bersahabat untuk Kelompok Usaha Mombine Sintuvu. Mombine sintuvu dalam bahasa setempat berarti ’perempuan bersatu’. Memarut kelapa, mencedoknya ke mesin peras untuk menghasilkan minyak goreng, dan memeras dengan tangan santan kelapa untuk diolah menjadi minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO) berlangsung tanpa kesulitan.
Kelompok Usaha Mombine Sintuvu dibentuk para ibu rumah tangga Desa Bangga sekitar akhir Mei 2019, sebulan setelah banjir bandang menimbun rumah-rumah mereka dan perkebunan yang selama ini jadi sandaran ekonomi. Tak kurang dari 300 rumah warga tertimbun lumpur hingga ketebalan 3 meter. Lumpur bersumber dari luapan Sungai Ore yang membelah desa. Lumpur tersebut terangkut air dari longsoran di pegunungan.
Rumah-rumah warga tersebut sebagian tersisa hanya dinding bagian atas dan atap. Rumah-rumah lain telah dibongkar agar material sisanya bisa dipakai untuk membangun hunian sementara (huntara). Penyintas banjir saat ini tinggal di huntara yang terletak 100 meter ke arah barat dari permukiman yang ”mati”.
Huntara berupa bangunan semipermanen dari kayu dengan lantai semen. Huntara tersebut dibangun dengan bantuan dari sejumlah lembaga atau yayasan sosial. Mereka tinggal di huntara sambil menunggu pembangunan rumah di lahan relokasi yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari lokasi huntara saat ini.
Tidak hanya menghancurkan rumah, timbunan lumpur juga merusak tanaman perkebunan warga, utamanya kakao di sisi timur dan utara desa. Pohon kakao yang mulai ditanami di pekarangan belakang rumah kering menghitam. Kelapa juga sudah mulai layu, terlihat dari menguningnya dedaunan. Tak kurang dari 50 hektar kebun warga Desa Bangga rusak karena banjir bandang tersebut.
Kebun kakao milik para anggota kelompok Mombine Sintuvu termasuk yang terkena imbas banjir lumpur. Untuk menopang hidup, suami mereka bekerja sebagai tukang bangunan.
Pembentukan kelompok usaha tersebut difasilitasi Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (SHEEP) yang turut bekerja dalam penanganan pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Yayasan memberikan stimulan dengan modal awal Rp 5 juta ditambah dua mesin peras kelapa.
Banjir di Bangga merupakan salah satu dampak ikutan pascagempa besar yang melanda Sulteng, 28 September 2018. Dampak itu berupa longsoran yang terjadi di gunung akibat guncangan tanah.
Berkumpul bersama, bercerita, tertawa, dan menghasilkan sesuatu lebih baik ketimbang terus bersedih.
”Waktu ada tawaran untuk membentuk kelompok, kami langsung terima. Daripada terus bersedih, lebih baik ada sesuatu yang bisa dikerjakan. Berkumpul bersama, bercerita, tertawa, dan menghasilkan sesuatu lebih baik ketimbang terus bersedih,” kata Ketua Kelompok Mombine Sintuvu Ritawati (47), yang 0,5 hektar kebunnya berisi 600 pohon kakao mati.
Pada awal dibentuk, kelompok Mombine Sintuvu berjumlah 26 orang. Namun, dalam perjalanan, banyak anggota keluar karena kesibukan masing-masing. Saat ini tersisa sembilan anggota.
Siang itu, anggota kelompok Mombine Sintuvu menghasilkan sekitar 7 liter santan kelapa untuk diproses menjadi minyak goreng yang bisa menghasilkan 15 botol berukuran 500 mililiter (ml). Dihasilkan pula 2 liter santan kelapa lainnya untuk difermentasi menjadi minyak kelapa murni sebanyak lima botol (ukuran 250 ml).
Biasanya, kelompok bekerja dua kali seminggu untuk menghasilkan dua jenis minyak tersebut. Minyak goreng dijual Rp 10.000 per botol (ukuran 500 ml) dan minyak kelapa murni (kemasan 250 ml) dijual Rp 100.000. Mereka membeli kelapa dengan harga Rp 800-Rp 1.000 per biji dari warga lain.
Kami bersatu untuk membesarkan usaha ini karena ini bisa jadi sumber penghasilan baru bagi kami.
Sejauh ini, bagi hasil penjualan minyak goreng dan minyak kelapa murni memang masih kecil. Sejak dibentuk tujuh bulan lalu, baru sekali dibagikan laba usaha Rp 110.000 per anggota. Porsi terbesar disumbang penjualan minyak kelapa murni, yang meskipun sedikit, tetapi harganya mahal.
”Masih kecil, tetapi bisa tambah-tambah pendapatan. Kami bersatu untuk membesarkan usaha ini karena ini bisa jadi sumber penghasilan baru bagi kami,” ucap Ritawati.
Untuk pemasaran, kelompok bekerja sama dengan para ibu yang menjual barang ke pasar-pasar lokal. Cara itu tak selalu lancar karena sering minyak tak laku. Cara lainnya adalah minyak dijual ke Yayasan SHEEP. Yayasan lalu mendistribusikannya kepada pembeli.
Di awal produksi, botol minyak belum diberi label. Saat ini, label produksi sudah tercantum lengkap dengan nama kelompok dan nomor telepon untuk pemesanan.
Koordinator Lapangan Yayasan SHEEP untuk Sulteng Heri Sasmito Wibowo menyatakan, bentuk kelompok dipilih untuk menjaga keberlangsungan usaha. Dengan berkelompok, usaha dipastikan terus berjalan karena tidak bergantung pada perorangan.
Selain itu, dalam kelompok, mereka juga bisa saling belajar, bahkan bertukar informasi terkait penanganan bencana. ”Tak meremehkan bantuan-bantuan usaha ke personal, usaha kelompok penuh dinamika, banyak proses di dalamnya. Jalan ini yang kami tempuh,” ucapnya.
Meskipun jumlah anggota berkurang, kelompok Mombine Sintuvu tak patah semangat untuk terus berkiprah. Mereka pun menolak takluk dalam keterpurukan bencana. Mereka justru menunjukkan ketangguhan dengan membalik nestapa menjadi asa.