Penyebaran pendidikan mitigasi dengan pendekatan nilai-nilai agama dianggap efektif mengubah pola pikir warga terhadap bencana. Keterlibatan ulama atau tokoh agama di Provinsi Aceh dibutuhkan.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Keterlibatan ulama atau tokoh agama di Provinsi Aceh dalam upaya membangun budaya siaga bencana di provinsi itu sangat diperlukan. Penyebaran pendidikan mitigasi dengan pendekatan nilai-nilai agama dianggap efektif mengubah pola pikir warga terhadap bencana.
Hal itu mengemuka dalam kegiatan Muzakarah Kebencanaan Cendekiawan Muslim, Rabu (18/12/2019), di Banda Aceh. Pertemuan itu dihadiri pengurus Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, pimpinan pondok pesantren/dayah, akademisi, tokoh perempuan, dan santri.
Wakil Ketua MPU Aceh Faisal Ali menuturkan, ulama Aceh akan bersinergi dengan pemerintah untuk membangun mitigasi bencana kepada warga. Ulama akan memanfaatkan mimbar khotbah Jumat dan pengajian guna menyampaikan pesan mitigasi.
”Sebagai Muslim kita berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari bala. Namun, kita juga perlu mengelola lingkungan dengan baik supaya tidak terjadi bencana,” kata Faisal.
Faisal menuturkan, Aceh berpotensi dilanda ragam bencana, seperti gempa, tsunami, banjir, kebakaran lahan, dan kekeringan. Beberapa kasus bencana alam, seperti banjir bandang dan kekeringan, disebabkan kesalahan manusia, perilaku buruk merusak lingkungan. Dia mencontohkan penebangan pohon di hutan dan pengambilan batu gunung telah memicu longsor dan banjir bandang.
MPU Aceh telah mengeluarkan fatwa tentang pemeliharaan lingkungan menurut hukum Islam.
Oleh karena itu, MPU Aceh telah mengeluarkan fatwa tentang pemeliharaan lingkungan menurut hukum Islam. Dalam fatwa itu disebutkan, pengelolaan lingkungan harus mengedepankan kelestarian dan kepentingan hidup orang banyak.
Pemimpin Pesantren Madinatuddiniyah Blangpidie, Aceh Barat Daya, Abu Yazid Al Yusufie mengatakan, eksploitasi sumber daya alam tidak boleh dilakukan berlebihan karena akan mendatangkan dampak buruk. ”Mari kita gunakan sumber daya alam sesuai kebutuhan, jangan berlebihan. Tahan diri untuk tidak merusak hutan dan membunuh satwa,” kata Yazid. Agama telah mengajarkan merawat alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, kata Yazid, pendidikan mitigasi bencana untuk santri sangat diperlukan. Ia mengajak pemerintah daerah, MPU Aceh, dan pengelola pesantren di Aceh untuk membentuk santri siaga bencana.
Menurut Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal, pascatsunami 2004 gerakan penyadaran mitigasi bencana giat dilakukan. Unsyiah juga melahirkan banyak penelitian tentang bencana, salah satunya telah menghasilkan temuan jejak tsunami purba di Goa Ek Luntie di Kabupaten Aceh Besar.
Samsul mengatakan, jejak tsunami di Goa Ek Luntie harus menjadi pembelajaran bagi warga Aceh untuk selalu siaga terhadap bencana. ”Agama mengajarkan kita untuk belajar dari setiap peristiwa masa lalu agar kita bisa mengambil hikmahnya,” ujar Samsul.
Samsul juga mendorong pemerintah untuk memasukkan pendidikan kebencanaan dalam pendidikan formal. Menurut Samsul, pendidikan kebencanaan sangat penting agar lahir generasi yang tangguh dan mampu mengurangi risiko bencana.