Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Perbedaan latar belakang kultur membuat wartawan Kristian Oka terheran-heran melihat gestur Xanana Gusmao, presiden pertama Timor Leste. Pertemuan ini juga menyadarkannya pada satu hal. Muda boleh, bodoh jangan.
Pria itu membiarkan dua kancing teratas kemeja batiknya terbuka, yang menampakkan kalung emasnya. Rambut putihnya tak disisir. Kumis dan jenggotnya mengesankan sudah lama tak dicukur.
Dengan tenang ia menyulut, lalu mengisap rokok kereteknya. Inilah pemandangan yang saya lihat dari seorang Xanana Gusmao, salah seorang negarawan paling santai yang mungkin pernah ada.
Nama Xanana tak asing di telinga warga Indonesia. Ia dihukum penjara karena dianggap makar terhadap Pemerintah Indonesia. Enam tahun kemudian, ia menerima amnesti, kemudian melenggang menjadi presiden pertama Timor Leste, lalu perdana menteri, dan kini menteri perencanaan dan investasi.
Kendati sangat ikonik, nama Xanana bagi saya—saat masih SD—sebatas untuk dihafal. Barangkali jadi soal ujian mata pelajaran IPS. Tak disangka, belasan tahun setelah lulus SD, saya melihat Xanana secara langsung saat meliput pertemuan tingkat menteri Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau (Archipelagic and Island States/AIS) di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (1/11/2019).
AIS Forum digelar Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sejak 2018. Forum yang dipimpin Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan ini membicarakan masalah negara-negara pulau dan kepulauan, seperti perubahan iklim, konservasi alam, dan ekowisata.
Anggotanya negara-negara kecil, sebut saja Palau, Komoro, Maladewa, Tonga, Kepulauan Solomon, Samoa, dan Seychelles. Sebagai negara yang tergolong muda, wajar jika Timor Leste melibatkan diri demi memainkan peran lebih di kancah internasional.
Kehadiran Xanana sebagai perwakilan setingkat Menko Luhut adalah bentuk keseriusan Timor Leste. Hanya enam dari total 28 negara peserta yang mengirim menterinya. Lainnya diwakili pejabat setingkat direktur jenderal kementerian atau duta besar.
Baca juga : Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Walakin, status menteri tak membuat Xanana merasa berderajat lebih tinggi. Ia tak segan, misalnya, beranjak dari kursinya untuk meminjamkan mikrofon nirkabel miliknya kepada delegasi Malta yang duduk 10-15 langkah dari tempatnya. Delegasi itu bukan menteri.
Yang juga bagi saya menakjubkan, Xanana santai sekali berhadapan dengan Luhut. Padahal, ketika ia memimpin perjuangan Fretilin (Front Revolusioner untuk Timor Timur Merdeka) dari hutan di pegunungan Timor Leste, Luhut menjabat Komandan Satgas Tempur Khusus Pasukan Pemburu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Sektor Tengah Khusus Timor Timur. Fretilin disebut oleh TNI (saat itu ABRI) sebagai Gerakan Pengacau Keamanan.
Tiada hawa permusuhan, bahkan ketika Luhut kemudian menyinggung masa lalu mereka. “Umur 25, saya masih angkat senjata di pusat latihan militer. Saya kira Pak Xanana dulu juga begitu,” kata Luhut bernostalgia, disambut anggukan dan senyum Xanana, menteri berusia 73 tahun itu.
Swafoto
Selepas forum, para delegasi makan siang bersama di aula sebelah. Entah bagaimana awalnya, banyak sekali warga Manado berkumpul di situ. Selesai makan, Xanana yang mungkin hendak kembali ke hotel, dicegat antrean warga yang ingin berswafoto.
Bagi mereka, boleh jadi kesempatan bertemu presiden pertama Timor Leste hanya terjadi sekali seumur hidup. Saya sendiri tidak ingin kelewatan, tetapi bukan untuk swafoto. ”Harus bisa doorstop interview. Nanti deh, habis dia kelar selfie,” pikir saya.
Baca juga : Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Mungkin Xanana terlalu terkenal dan ikonik. Antrean swafoto itu sudah seperti antrean sembako langka. Xanana sendiri terlihat rileks dan menikmati betul suasana di tengah kerubutan banyak orang.
Setiap orang, tepatnya setiap wanita yang mengajaknya berswafoto, ia rangkul erat dan sangat dekat, termasuk Kepala Balai Taman Nasional Bunaken Farianna Prabandari. Xanana, yang mungkin tak tahu jabatan Farianna, bahkan mencium pipinya. Farianna tampak bingung. Saya termasuk yang melongo melihatnya.
Wartawan Kompas TV Manado, Yanne Singal, masuk dalam antrean. Xanana langsung merangkulnya erat-erat. Selepas foto, ia meraih tangan Yanne, mengangkatnya dan menciumnya. Yanne hanya tertawa. ”Pokoknya, enggak dicium di bagian lain,” serunya.
Antrean masih panjang. Saya dan seorang rekan dari Bisnis Indonesia akhirnya mewawancarai delegasi Seychelles, Nico Barito. Negara kepulauan itu punya gagasan menarik tentang perlindungan laut dengan obligasi biru (blue bond).
Baca juga : Jatuh Terjengkang Saat Liputan Maraton
Akan tetapi, aksi Xanana di kejauhan terus mendistraksi saya. Saya meliriknya kembali, mantan pejuang gerilya itu tengah mengusap-usap pipi dan rambut wanita muda, penuh afeksi. Sekali lirik lagi, Xanana melayangkan cium ke pipi wanita lain lagi.
Di luar, Xanana kemudian dicegat wartawan TVRI Manado, Monica Khonado. Selesai wawancara, Xanana mengambil alih mikrofon Monica, lalu sok-sokan mewawancarainya. Mereka tertawa, saya mengalihkan pandangan. Aneh juga, Xanana yang bertingkah, saya yang malu.
Tak lupa Monica mengajak Xanana berswafoto. Tiba-tiba, terdengar suara kecupan. ”Saya minta foto setelah wawancara. Terus, saya dicium di pipi. Tapi, kan, bukan saya saja. Orang lain juga pada dicium,” kata Monica memaklumi.
Bagi saya, tingkah Xanana seperti jenderal flamboyan yang tengah ”mabuk”. Sulit untuk membayangkan ini terjadi di KTT ASEAN, APEC, atau Majelis Umum PBB. Xanana saat itu juga bebas bergerak tanpa pengawalan protokoler.
Baca juga : Stigma Mendorong Saya Meliput tentang Prostitusi
Dihubungi dari Manado, mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI Dino Patti Djalal mengatakan, gestur politisi di pertemuan-pertemuan internasional sangat beragam. Xanana termasuk orang yang sangat ramah terhadap siapa pun.
”Pak Xanana sangat terbuka, tidak suka protokol. Tiap bertemu dengan saya saja, selalu peluk, tidak ada jarak,” katanya.
Dino yang pernah menjabat Juru Bicara Satgas Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Timur menambahkan, gestur peluk dan cium itu cukup wajar di Timor Leste. ”Yang saya lihat begitu, tidak banyak jarak secara fisik,” ujarnya.
Semua terjadi begitu saja. Toh, tidak ada yang bisa menghentikan. Memang siapa yang berani menegur Xanana?
”Terlalu muda”
Selepas wawancara dengan Monica, saya buru-buru mencegat Xanana di dekat pintu keluar. Saya tidak yakin harus bertanya apa, tetapi tidak ingin kesempatan sekali seumur hidup ini lepas.
Karena saya laki-laki, tentu saja Xanana tidak meraih tangan saya untuk diciumnya, apalagi mengusap-usap dan mencium pipi saya. Ia mengambil bungkus rokok dari kantongnya, menyulutnya, lalu mengisap dan mengembuskan asapnya.
Ia menjawab pertanyaan saya tentang AIS Forum. Bicaranya lambat, aksen Portugisnya sangat kental. ”Timor Leste datang untuk membicarakan permasalahan lingkungan yang kita hadapi bersama, seperti perubahan iklim dan sampah plastik. Kami datang dengan keinginan untuk belajar,” katanya dalam bahasa Inggris.
Xanana mengakui, di forum itu, Timor Leste tidak membawa ide terobosan seperti Seychelles. ”Kami hanya datang untuk brainstorming. Namun, tahun depan saya harap forum ini sudah bisa saling mengevaluasi kebijakan apa yang sudah dilakukan untuk menjaga lingkungan,” lanjutnya.
Baca juga : Penuh Debar Mengemudikan ”Lead Car”
Xanana juga mengapresiasi kepemimpinan Indonesia di forum ini. Wajar saja, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.
Terakhir, saya bertanya, apakah Indonesia tetap sekutu penting untuk Timor Leste. ”Of course!” jawab Xanana, menekankan dengan nada tinggi.
Ia diam sebentar, menatap saya dari ubun-ubun sampai ujung kaki, lalu bertanya, ”How old are you?” Saya jawab, 23. ”Aaah, too small,” katanya, sedikit mengejek.
Ia menegaskan, Timor Leste dan Indonesia adalah teman baik, kemudian mengakhiri wawancara dan berlalu bersama tiga asistennya.
Baca juga : Membuka Jalan Kemanusiaan bagi Seniman Pengidap Kanker
Pertanyaan terakhir saya adalah pertanyaan bodoh. Xanana Gusmao adalah presiden yang paling dekat dengan Indonesia. Ia telah mengecap pahitnya perjuangan bertahun-tahun berakhir di penjara setelah tertangkap pada 1992. Ia juga merasakan manisnya kemerdekaan lewat penentuan pendapat Timor Timur, 30 November 1999.
Mungkin, alasan inilah yang mendekatkannya dengan Presiden Ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie. Xanana menjenguk Habibie di RSPAD Gatot Soebroto. Ia memeluk, mencium dahi Habibie, dan menangisinya, September lalu.
Tahun 2002, Xanana menginisiasi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bersama Pemerintah Indonesia demi mencari keadilan terhadap peristiwa kekerasan yang terjadi sejak 1975 saat Timor Timur dianeksasi (dalam kacamata Indonesia, integrasi) hingga 1999 ketika berpisah dari Indonesia. Sekitar 200.000 orang tewas dalam peristiwa itu.
Di luar area yang bersentuhan dengan kemerdekaan, Timor Leste juga bergabung dengan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) bersama Indonesia. Terakhir, mereka bergabung dengan AIS Forum bikinan Indonesia meski belum jelas arahnya.
Xanana memang seperti orang yang ”mabuk” hari itu. Namun, terlepas dari sikapnya yang begitu ramah terhadap para wanita di Manado, ia mengingatkan saya secara pribadi: muda boleh, bodoh jangan. Sebaliknya, teruslah membaca, teruslah menambah pengetahuan, sehingga tidak asal bertanya.
Maun boot (kakak tertua dalam bahasa Tetun) Xanana yang bijaksana menampar saya tanpa menyentuh.