Pembangunan Ibu Kota Baru Diikuti Pemulihan Kerusakan akibat Tambang
KLHK memperkirakan ada ratusan lubang bekas tambang di lokasi ibu kota baru yang luasnya sekitar 180.000 hektar. Untuk itu, ibu kota baru akan dibangun, ekosistem juga akan dipulihkan.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki lahan lingkungan yang rusak akibat pertambangan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan ada ratusan lubang bekas tambang di lokasi ibu kota baru yang luasnya sekitar 180.000 hektar.
Visi itu menjadi salah satu poin utama yang tertuang dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut rencana, kajian yang saat ini dalam tahap finalisasi itu menjadi salah satu dasar penyusunan rencana induk atau masterplan pembangunan ibu kota baru yang dimulai pada 2020.
Pelaksana Tugas Inspektorat Jenderal KLHK Laksmi Wijayanti, Jumat (20/12/2019), mengatakan, pembangunan ibu kota baru ini menjadi momentum untuk menyelesaikan masalah yang selama ini dihadapi Kalimantan Timur (Kaltim). Persoalan kerusakan lingkungan di daerah itu sebenarnya sudah cukup kronis.
”Dengan adanya pembangunan ibu kota, masalah itu malah mungkin terpulihkan. Kita punya kesempatan membangun kota, sekaligus memulihkan ekosistemnya,” kata Laksmi dalam konferensi pers di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.
Luas total area di lokasi ibu kota baru yang rusak akibat kegiatan pertambangan saat ini masih dikaji KLHK. Di wilayah timur saja, ujar Laksmi, ada hampir 200 lubang yang diakibatkan aktivitas pertambangan.
Kita punya kesempatan membangun kota, sekaligus memulihkan ekosistemnya.
Menurut Laksmi, untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat aktivitas pertambangan, KLHK berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk menyinergikan upaya penegakan hukum. Pemerintah daerah juga harus menjamin proses reklamasi atau pemulihan vegetasi lingkungan yang rusak pasca-penambangan bisa dipercepat.
Reklamasi itu harus dilakukan berbasis kawasan, bukan hanya lubang per lubang. Reklamasi itu juga harus dikombinasikan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
”Misalnya, bisa dimanfaatkan untuk infrastruktur penampung air ataupun untuk menanam tanaman pangan,” ujarnya.
LSM ragu
Menurut laporan bertajuk ”Ibu Kota Baru buat Siapa?” yang diterima Kompas pada 17 Desember 2019, ada 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit, dan perusahaan listrik tenaga uap (PLTU) di lokasi ibu kota baru yang seluas 180.000 hektar. Di lokasi itu juga terdapat 94 lubang bekas tambang batubara yang cukup besar.
Dari jumlah lubang tersebut, ada lima perusahaan yang meninggalkan paling banyak lubang tambang. Selain itu, ada sejumlah nama elite yang menguasai lahan konsesi, baik dari kalangan pengusaha maupun kementerian.
Laporan tersebut dirilis sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka adalah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, serta Pokja Pesisir dan Nelayan.
”Korporasi dan oligarki punya kesempatan pertama untuk memastikan investasi mereka aman dengan megaproyek ibu kota baru. Sebaliknya, suara masyarakat asli diabaikan setelah ruang hidup mereka dirampas,” ujar Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah.
Korporasi dan oligarki punya kesempatan pertama untuk memastikan investasi mereka aman dengan megaproyek ibu kota baru. Sebaliknya, suara masyarakat asli diabaikan setelah ruang hidup mereka dirampas.
Menanggapi hal itu, Laksmi memastikan konsesi di kawasan hutan itu berupa izin usaha pemanfaatan sehingga lahan itu bukan milik perusahaan dan negara bisa mengambil alih.
Di luar kawasan hutan, KLHK akan bekerja sama dengan lembaga kementerian lain serta pemerintah daerah setempat untuk mengawasi dan memastikan pemegang izin pertambangan memenuhi kewajibannya.
”Kalau di kawasan hutan, tanahnya bukan punya perusahaan-perusahaan itu, melainkan milik negara. Pemerintah dapat melakukan upaya ekstraktif demi kepentingan negara, tentu melalui mekanisme baik, benar, dan adil,” katanya.
Kalau di kawasan hutan, tanahnya bukan punya perusahaan-perusahaan itu, melainkan milik negara. Pemerintah dapat melakukan upaya ekstraktif demi kepentingan negara, tentu melalui mekanisme baik, benar, dan adil.
KLHK, lanjut Laksmi, akan menjamin proses itu akan dilakukan dengan baik. Di luar kawasan hutan, KLHK akan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional dan pemerintah daerah. Tujuannya, untuk membenahi tata kelola, terutama ketaatan pemegang izin pertambangan.