Radikalisme merupakan terminologi netral yang perlu dipandang secara kritis. Tidak semua orang dengan paham radikal terlibat aksi terorisme atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
JOMBANG, KOMPAS — Radikalisme merupakan terminologi netral yang perlu dipandang secara kritis. Tidak semua orang dengan paham radikal terlibat aksi terorisme atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Demikian salah satu pemikiran yang mengemuka dalam seminar nasional bertema ”Silang Pendapat Makna Radikalisme”, Sabtu (21/12/2019), di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Acara menghadirkan narasumber utama Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Hamli.
Selain itu, Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf Al-Jufri; Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Asembagus, KH Afifuddin Muhajir; Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Prof Masdar Hilmy; Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Syafiq A Mukhni; dan dosen Universitas Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Fathur Rohman.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid dalam pidato pembukaannya menilai, di Indonesia radikalisme menjadi bernuansa amat negatif. Seseorang yang radikal kerap mendapat stigma terlibat terorisme.
Padahal, radikalisme tak melulu terkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti terorisme. Menurut Gus Solah, sapaan akrab Salahuddin Wahid, ada orang-orang yang secara tekun beragama sehingga mengubah cara berpakaian dan laku ibadat. Hal itu merupakan tindakan radikal. ”Apakah yang seperti itu lantas dicap terorisme? Kan, seharusnya tidak,” katanya.
Yang patut diwaspadai, lanjut Salahuddin, adalah kelompok atau individu yang menolak Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau ideologi negara, terlibat dalam kejahatan disintegrasi bangsa dan negara, intoleran atau memaksakan kehendak, serta terlibat terorisme.
Menurut Salahuddin, Tebuireng pernah mengadakan survei terkait pandangan santri terhadap nilai-nilai radikalisme di empat pesantren besar dan satu pesantren lain dengan mazhab berbeda. Menurut dia, sebanyak 3.000 santri menjadi responden.
Hasilnya, lebih dari 80 persen responden menilai sangat wajar mereka hidup berdampingan dengan yang berbeda keyakinan. Lebih dari 91 persen santri menyatakan ideologi Pancasila dan NKRI sudah final. Namun, bagi pesantren yang berbeda mazhab, kefinalan ideologi itu hanya diterima oleh 67 persen responden.
Responden di empat pesantren yang dianggap moderat menilai, tak bermasalah jika memasuki tempat ibadah agama lain (67 persen), lelaki Muslim menikah dengan yang berbeda agama (78 persen), mendukung pembubaran HTI (87 persen), tak memilih pemimpin non-Muslim (59 persen), dan setuju pelarangan cadar (25 persen).
Namun, responden di pesantren berbeda mazhab hanya 27 persen yang menganggap tak masalah memasuki tempat ibadah agama lain, sedangkan yang mendukung pembubaran HTI sekitar 40 persen dan 86 persen tak memilih pemimpin non-Muslim serta 6 persen setuju pelarangan cadar.
Hamli mengatakan, aparatur negara tak bisa berdiam jika ada gerakan dengan kecenderungan terorisme, seperti menyuburkan sikap intoleransi, anti-Pancasila, anti-NKRI, menyebarkan takfiri, dan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Menurut dia, terorisme berkelindan dengan intoleransi dan radikalisme.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap seluruh pelaku terorisme yang tertangkap sampai dengan 2012, lanjut Hamli, motif pelaku teror ialah ideologi agama (45 persen), solidaritas komunal (20 persen), mob mentality (27 persen), balas dendam (11 persen), situasional (9 persen), dan separatisme (2 persen).
”Para pelaku terorisme terus-menerus menyebarkan propaganda sehingga memengaruhi orang lain,” ujar Hamli.
Materi propaganda yang saat ini marak melalui internet ialah thogut, kafir demokrasi, akhir zaman, hijrah, khilafah, atau daulah islamiyah, tauhid hakimiah, pembatalan keislaman, keutamaan jihad, mati syahid, akidah, dan takfiri (perilaku mengafir-ngafirkan orang lain).
Hamli membenarkan, pelaku terorisme tak terbatas pada pemeluk agama tertentu. Mereka ada yang berpendidikan rendah, tetapi juga ada yang bertitel doktor serta berasal dari beragam latar belakang ekonomi. Sasarannya dari yang sebangsa, seagama, hingga yang berbeda. Dalam konteks ini, terorisme yang menimbulkan kejahatan kemanusiaan perlu diberantas.
Sementara itu, Afifuddin mengatakan, ajaran Islam pada prinsipnya tak radikal, bahkan toleran. Islam juga berkembang tidak secara revolusioner, tetapi melalui tahapan reformasi. Islam bahkan anti-fanatisme.
”Islam mengajarkan umat bersemangat dalam mengamalkan ajaran, sekaligus mengajak menghargai perbedaan dan toleransi,” ucap Afifuddin.
Hal senada diutarakan Salim Segaf. Ia juga meminta aparatur negara tidak kebablasan dalam program penanganan radikalisme. Misalnya, ada aparatur yang kritis terhadap pemerintahan kemudian diciduk dengan tuduhan radikal, bahkan terlibat terorisme.
”Jangan, misalnya, pakai cadar atau celana cingkrang kemudian dituduh radikal bahkan teroris,” ujar Salim Segaf.
Adapun Masdar mengingatkan perubahan yang ditempuh teroris dalam mewujudkan kejahatan. Ada yang bertindak sendiri, menyeret keluarga, atau berorganisasi. Ia berharap, antisipasi dan penanganan terorisme jangan sampai kendur. Penanganan terhadap pelaku melalui deradikalisasi juga patut diapresiasi, tetapi harus terus dipantau agar berdampak positif.