8.000 Hektar Hutan di Bima Rusak, Bencana Mengancam
Akibat kerusakan ribuan hektar hutan milik negara di Kecamatan Parado, Bima, Nusa Tenggara Barat, bencana banjir dan longsor mengancam Bima, khususnya empat kecamatan. Adapun saat kemarau, giliran kekeringan mengancam.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
BIMA, KOMPAS — Areal hutan milik negara seluas 8.000 hektar dari total 17.000 hektar di perbukitan di Kecamatan Parado, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, rusak berat. Pembalakan liar diduga menjadi pemicunya selain aktivitas warga yang merusak hutan untuk ditanami jagung. Kerusakan ini membuat banjir bandang yang pernah melanda Bima, tahun 2016, berpotensi terulang.
Pantauan Kompas saat mengikuti kunjungan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo ke kawasan hutan di Parado tersebut, Minggu (22/12/2019), nyaris tak ada lagi pohon yang tersisa. Sejauh mata memandang, perbukitan sudah gundul. Batang-batang sisa pepohonan terlihat habis dibakar. Bahkan, di sejumlah titik, batang pohon masih terbakar.
Doni Monardo prihatin melihat kondisi hutan yang rusak tersebut.
”Terus terang, saya sedih atas kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Parado. Saya tidak menyangka bahwa kerusakannya sangat parah. Pohon-pohon ditebang, dihabisi, tinggal menunggu malapetaka bencana yang terjadi jika kita membiarkan semuanya tetap begini,” ujar Doni.
BNPB mengunjungi Bima, khususnya areal hutan di Parado, untuk mengecek langsung laporan masyarakat yang resah dengan rusaknya hutan. Berdasarkan laporan itu, akibat kerusakan hutan, sejumlah mata air dan air terjun hilang. Ini berimplikasi pada kekeringan yang kerap terjadi di Bima setiap kali musim kemarau. Sementara saat musim hujan, bencana banjir dan longsor mengancam. Apalagi, sudut kemiringan lereng mencapai 60 derajat.
Hadir pula saat pengecekan oleh BNPB itu, Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri dan Komandan Resor Militer 162/Wira Bhakti Kolonel Czi Ahmad Rizal Ramdhani.
Kematian ekosistem
”Perambahan hutan ini menimbulkan kerusakan luar biasa, flora dan fauna. Kita pun akan menjadi korban,” tutur Doni.
Oleh karena itu, Doni meminta kepada pemerintah daerah agar serius menyikapi masalah kerusakan hutan tersebut. Masyarakat juga diminta untuk tidak menebang atau membakar pohon dengan alasan apa pun.
”Menyelesaikan masalah lingkungan tak bisa sendiri. Kita semua harus meningkatkan kesadaran kolektif, bencana urusan semua. Sisa hutan yang ada, jangan ada lagi yang menebang pohon. Kalau ada yang menebang, silakan aparat kepolisian untuk melakukan penegakan hukum,” kata Doni.
Empat kecamatan
Indah Dhamayanti Putri mengklaim telah berkoordinasi dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah agar segera dibuat aturan khusus yang melarang perambahan hutan berikut sanksinya, juga pembentukan tim satuan tugas untuk menjaga hutan. Itu tak hanya berlaku di Parado, tetapi juga kecamatan lain yang memiliki hutan, seperti Donggo, Wawo, dan Lambitu.
”Saya bersama wakil bupati dan seluruh lapisan masyarakat berkomitmen bahwa tak boleh lagi ada perambahan hutan di daerah kami,” ucap Indah.
Sebelumnya, banjir bandang pernah terjadi di Bima pada 2016 akibat hutan yang telah gundul di daerah hulu, yaitu Kecamatan Wawo dan Lambitu. Kemudian, apabila hutan di Parado masih tetap gundul, setidaknya ada empat kecamatan yang diprediksi diterjang banjir, yakni Monta, Woha, Belo, dan Palibelo.
”Belajar dari (Kecamatan) Wawo dan Lambitu, kami tidak ingin perambahan hutan ini malah menyebabkan banjir lagi di kecamatan lain,” kata Indah.
Berdasarkan prediksi Stasiun Meteorologi Kelas III Sultan Muhammad Salahuddin Bima, puncak musim hujan akan terjadi pada Januari hingga Februari. Banjir masih akan melanda sejumlah tempat akibat degradasi lahan.
Pos terpadu
Ahmad Rizal Ramdhani menambahkan, dirinya telah menugaskan Komandan Kodim 1608/Bima Letnan Kolonel Inf Bambang Kurnia Eka Putra agar segera membuat pos jaga terpadu bersama kepolisian setempat di kawasan hutan Parado. Setelah pos terbentuk, patroli akan lebih digiatkan. Siapa pun yang tertangkap menebang atau membakar pohon akan diproses secara hukum.
”Tak boleh ada truk yang turun bawa kayu. Kalau ada yang bawa kayu, tangkap. Ada alat berat, tangkap. Proses hukum tanpa ada tebang pilih,” ujar Ahmad Rizal.
Suharlin (37), warga Kecamatan Monta, mengatakan, beberapa minggu terakhir, sejumlah alat berat kerap keluar-masuk kawasan hutan. Alat berat untuk membuka jalan ke dalam hutan. Setelah jalan berhasil dibuka, truk-truk hilir mudik mengangkut kayu dari dalam hutan. Namun, tidak jelas siapa yang menebangi hutan tersebut.
”Posko khusus TNI-Polri memang harus ada supaya kawasan hutan terjaga,” ucap Suharlin.
Selain hutan rusak diduga oleh pembalakan liar, Samsuddin (57), warga Parado, mengaku, perusakan hutan dilakukan masyarakat untuk kepentingan menanam jagung. Ini biasa dilakukan pada awal musim hujan. Pohon sengaja dibakar agar lahan bisa ditanami bibit jagung.
Jika kelak pemerintah melarang masyarakat mempraktikkan hal tersebut, dia meminta pemerintah memberikan solusinya. Ini penting supaya masyarakat yang bertumpu pada hasil jagung bisa tetap hidup. Warga, misalnya, harus diberi tempat baru untuk bercocok tanam serta solusi bibit tanaman yang memiliki nilai jual dan cocok dengan kondisi wilayahnya.