Young Scientist Training Camp 4 di Purwokerto digelar. Kamping itu bertujuan menanamkan kecintaan pada penelitian dalam diri para remaja.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Forum Guru Peneliti Indonesia Provinsi Jawa Tengah menggelar Young Scientist Training Camp 4 di Purwokerto. Ajang pelatihan yang diikuti oleh perwakilan dari 60 sekolah se-Jawa Tengah itu bertujuan untuk menanamkan kecintaan pada penelitian dalam diri para remaja.
”Learning is by doing atau learning to do, kalau belajar itu mengalami dan mempraktikkan itu akan lebih meresap kepada anak-anak. Kalau selama ini hanya mendengarkan, akan cepat hilang,” kata Ketua Panitia Young Scientist Training Camp 4 Agus Nugroho, Minggu (22/12/2019).
Pelatihan bagi para remaja ini digelar mulai Sabtu (21/12/2019) hingga Selasa (24/12/2019) di SMA Islam Teladan Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto. Acara diikuti 240 siswa, baik berasal dari SMP, MTs, SMA, SMK, maupun MA. ”Kami mengajarkan bagaimana membuat sebuah penelitian, mulai dari metodologi, teknik observasi lapangan, pengambilan data, analisis data, sampai dengan membuat proposal serta mempresentasikan,” tutur Agus yang juga guru Fisika dan Prakarya di SMAN 3 Salatiga.
Agus menyebutkan, melalui penelitian, para peserta didik belajar pula mengembangkan berbagai karakter. ”Dengan meneliti ada banyak karakter yang mencakup di dalamnya. Jelas kejujuran pasti ada karena harus jujur dalam data, attitude clearance, disiplin, bekerja keras,” tuturnya.
Dengan meneliti ada banyak karakter yang mencakup di dalamnya. Jelas kejujuran pasti ada karena harus jujur dalam data, attitude clearance, disiplin, dan bekerja keras.
Kepala SMA Islam Teladan Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto Galih Rakasiwi menambahkan, melalui penelitian para peserta didik juga diajak untuk berlatih mengembangkan berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi, dan berkomunikasi. ”Sebagaimana disampaikan oleh menteri yang baru, diakui atau tidak memang nyatanya pendidikan kita masih perlu banyak evaluasi. Kami di sekolah akhirnya mencari tambahan-tambahan program untuk bisa mem-back up peningkatan kompetensi anak,” kata Galih.
Galih menyampaikan, di sekolahnya terdapat program bagi para siswanya untuk membiasakan diri dengan kegiatan penelitian. ”Semua siswa di Al Irsyad ini kelas X itu wajib membuat proposal penelitian untuk syarat kenaikan. Kemudian kelas XI wajib melaksanakan proposal yang sudah dibuat di kelas X itu,” tuturnya.
Ramanti Prajna (16) dan Afifah Ainun Nafis (16), siswi kelas XI dari SMAN 1 Teras Boyolali yang menjadi peserta, menyampaikan, mereka berdua prihatin pada kondisi korupsi di negeri ini. Oleh karena itu, mereka berdua membuat penelitian tentang seberapa jauh pemahaman siswa terhadap korupsi dan membuat permainan monopoli antikorupsi.
”Di situ ada pernyataan dan pertanyaan seputar korupsi, seperti jenis-jenis korupsi, bahaya korupsi, undang-undang, dan lembaga antikorupsi,” kata Ramanti yang meraih juara 1 dalam Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2019 di bidang Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Profesor Rifda Naufalin menyampaikan, kebiasaan meneliti sejak dini diperlukan sebagai bekal untuk menempuh pendidikan tinggi di kemudian hari.
”Kalau dimulai dari adik-adik usia 13-15 tahun berlatih penelitian, saya kira nanti saat jadi mahasiswa nanti akan enak sekali. Kalau mahasiswa selesai 4 tahun, bisa selesai 3,5 tahun karena sudah biasa menemukan masalah, memecahkan masalah, dan mencari ide-ide. Biasanya mahasiswa yang belum pernah meneliti sejak dini itu ada kesulitan,” papar Rifda.
Rifda mendorong para peserta untuk menangkap permasalahan yang ada di lingkungan sekitar. Misalnya, masyarakat Banyumas yang suka mendoan dengan produksi 8 ton kedelai per hari, tetapi masih mengandalkan kedelai impor. Perlu penelitian jenis kacang-kacangan yang bisa dimanfaatkan menjadi mendoan, misalnya.
Kepala Cabang Dinas Wilayah X Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Tohar menyebutkan, penelitian juga memacu literasi, melatih kejujuran, dan meningkatkan kemampuan bernalar. ”Orang mengadakan penelitian pasti membaca berbagai literatur, maka kecerdasan literasinya tinggi. Dalam riset paling tidak, daya nalarnya tinggi,” ujar Tohar.
Tohar berharap kebiasaan meneliti ini bisa terus meningkatkan sumber daya manusia Indonesia secara umum dan juga Jawa Tengah secara khusus. Pada 2019 ini, tingkat usia produktif di Jateng sudah mencapai 70 persen. ”Ini potensi luar biasa untuk modal pembangunan ketika SDM itu kompeten, tapi ketika tidak kompeten, generasi mudanya banyak kena narkoba, maka cenderung menjadi beban bagi negara,” papar Tohar.