Serbuan Ulat Dipicu Cuaca Ekstrem dan Gangguan Rantai Makanan
Serbuan ribuan ulat daun pohon jati ke permukiman di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, diduga karena cuaca ekstrem dan terganggunya rantai makanan. Akibatnya, aktivitas warga pun terganggu.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Serbuan ribuan ulat daun pohon jati ke permukiman di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, diduga karena cuaca ekstrem dan terganggunya rantai makanan. Akibatnya, aktivitas warga pun terganggu.
Sejak Jumat hingga Rabu (20-25/12/2019), ribuan ulat daun pohon jati menyerang permukiman warga di Desa Sindanglaut, Kecamatan Lemahabang. Ulat itu masih menempel di tembok, teras, pintu, hingga plafon belasan rumah warga di RT 002 RW 004. Bahkan, jemuran dan kamar mandi warga tidak luput dari serangan ulat.
Warga terpaksa menutup pintu dan ventilasi rumah serta memangkas dahan pohon yang menjadi tempat ulat. Ulat kecil itu turun ke permukiman dengan menggantung di sulur-sulur, serupa jaring laba-laba. Ulat juga menyerang Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Kabupaten Cirebon dan Koramil Sindanglaut.
Yan Yanuar, petugas pengendalian organisme pengganggu tanaman (POPT) Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat, menilai, serbuan ulat karena pengaruh cuaca ekstrem. ”Cuaca yang panas kemarin menyebabkan perkembangan ulat lebih cepat. Telur ulat cepat menetas lalu menjadi kepompong di daun jati,” katanya.
Perubahan iklim dari musim kemarau ke musim hujan seperti sekarang memicu kepompong menjadi ngengat. Serangga tersebut lalu kawin dan kembali bertelur. ”Dengan cuaca yang belum menentu, seperti panas lalu hujan, ulat semakin cepat berkembang,” ujarnya.
Dengan cuaca yang belum menentu, seperti panas lalu hujan, ulat semakin cepat berkembang. (Yan Yanuar)
Ledakan populasi ulat ini kemudian memakan daun jati yang tersisa. Ketika daun habis dan meranggas, ulat itu ke permukiman mencari tempat adem. Berdasarkan pantauan Kompas, pohon jati di sekitar permukiman nyaris kehabisan daun. Saking banyaknya ulat, terdengar suara remukan daun jati karena dimakan ulat.
Pemicu lain banyaknya ulat, kata Yanuar, karena musuh alami ulat, seperti semut rangrang dan burung prenjak, sudah jarang ditemukan. ”Burung itu banyak diburu. Akibatnya, ekosistem rantai makanan tidak seimbang dan populasi ulat daun jati meledak,” katanya.
Menurut dia, serangan ulat hitam itu seharusnya bisa menjadi sumber ekonomi baru untuk warga. Di sejumlah daerah, seperti Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Blora, Jawa Tengah, ulat daun jati dapat dijual untuk diolah menjadi pepes atau keripik.
Agung (24), warga setempat, mengatakan, serangan ulat terjadi tiga tahun terakhir saat memasuki musim hujan. Namun, kali ini, serbuan ulat semakin mengganas karena masuk ke rumah. ”Enggak gatal, sih, tetapi rasanya geli. Setiap disapu, satu jam kemudian ulatnya datang lagi. Saya tinggal di rumah dulu untuk beresin,” kata Agung yang bekerja sebagai sopir.
Slamet Riyadi (34), anggota staf SLBN Kabupaten Cirebon, mengatakan, serangan ulat biasanya berlangsung seminggu bahkan bisa setengah bulan. Beruntung, SLBN dengan siswa sekitar 140 orang itu sedang libur. ”Saya sudah semprot sampai 15 botol pestisida, tetapi ulatnya masih banyak,” katanya.