Efek rumah kaca, sebagai hasil dari eksploitasi lingkungan, ikut memicu perubahan iklim yang berdampak pada bencana hidrometeorologi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Efek rumah kaca, sebagai hasil dari eksploitasi lingkungan, ikut memicu perubahan iklim yang berdampak pada bencana hidrometeorologi. Kesadaran terkait isu ini, termasuk dalam ranah politik, dapat mengurangi eksploitasi sehingga mampu menekan dampak buruknya.
Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid menuturkan, perubahan iklim akibat pemanasan global yang terjadi dalam dekade terakhir mengakibatkan pergeseran musim. Dalam Diskusi Publik bertema ”Krisis Iklim dan Masa depan Politik Hijau” di Bandung, Sabtu (28/12/2019), dia berujar, pergeseran tersebut berdampak pada bencana hidrometeorologi.
”Selama 20 tahun terakhir, bencana hidrometeoroligi terus menghantui Indonesia. Kerugian negara akibat bencana ini mencapai lebih dari Rp 20 triliun setiap tahunnya dan sebagian berasal dari banjir dan tanah longsor. Semua itu dampak dari pemanasan global,” tutur Khalisah.
Menurut informasi yang dihimpun Walhi, alih fungsi lahan menjadi faktor dominan yang memengaruhi pemanasan global, di antaranya di Jawa Barat. Khalisah memaparkan, berubahnya hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, dan properti menyebabkan bumi di Jabar menjadi lebih panas setiap tahunnya. Faktor lain yang memengaruhi adalah penggunaan energi fosil yang tinggi, seperti penggunaan pembangkit listrik tenaga uap dan polusi kendaraan.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong menambahkan, perubahan lahan masif bisa dilihat dari kawasan Bandung Utara yang gundul. Sebelumnya, kawasan tersebut merupakan hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Namun, selama puluhan tahun terakhir, kawasan tersebut berubah menjadi lahan pertanian dan perumahan.
”Pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan juga menjadi kekhawatiran kami. Laju kerusakan lingkungan semakin cepat seiring kebutuhan infrastruktur,” ujarnya.
Isu lingkungan
Perubahan iklim ini, tutur Khalisah, perlu ditekan dengan mengurangi faktor penentunya. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, perhatian publik ini jadi bentuk pengawasan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan prolingkungan.
Menurut Khalisah, masyarakat harus peduli dalam melihat agenda-agenda dan janji politik dari pemimpin daerah. Pemimpin yang tidak memperhatikan isu lingkungan, tuturnya, perlu dikritisi karena semua bencana alam yang terjadi adalah akibat dari kurangnya perhatian pemimpin dan pengambil kebijakan memperhatikan alam.
”Warga harus mulai bisa melihat mana pemimpin yang peduli terhadap lingkungan. Selain itu, calon kepala daerah yang memperhatikan lingkungan juga perlu diamati dan diminta komitmennya. Jika warga peduli, agenda politik hijau ini bisa menjadi perhatian para pemangku kebijakan,” tuturnya.
Pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan juga menjadi kekhawatiran kami. Laju kerusakan lingkungan semakin cepat seiring kebutuhan infrastruktur.
Akan tetapi, kondisi tersebut masih sulit untuk tercapai jika penyaluran aspirasi masyarakat belum diakomodasi oleh pemerintah. Pengamat Lingkungan Hidup dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, menuturkan, warga semestinya sudah mengetahui dampak kerusakan lingkungan adalah bencana alam, seperti banjir dan longsor.
”Yang menjadi persoalan, partisipasi publik dalam mengkritisi isu lingkungan tidak melalui mekanisme yang terorganisasi. Mereka hanya mengeluh di media, letupan spontan. Sudah itu saja, tidak ada tindak lanjut hingga ke ranah kebijakan,” ucapnya.
Padahal, tutur Chay, sinergi dari masyarakat dan pemerintah dibutuhkan dalam suatu rancangan tindak lanjut yang efektif. Pembentukan forum komunikasi bersama antara pemerintah dan warga menjadi tempat mengkritisi warga serta memasukkan isu-isu lingkungan ke dalam ranah kebijakan..
”Jika mencontoh negara mapan, seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Jepang, diskusi publik difasilitasi pemerintah. Pemerintah tidak bisa dibiarkan begitu saja, pertemuan dengan publik inilah yang menjadi ajang untuk mengartikulasikan kebijakan-kebijakan yang prolingkungan,” tuturnya.