Damiri Mahmud, seorang pujangga besar dari kampung kecil meninggal di usia ke-74 di rumahnya yang sederhana di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (30/12/2019). Damiri merupakan penyair sekaligus kritisi sastra yang menyanggah kritikus besar HB Jassin, A Teeuw, dan AH Johns, dalam menafsirkan karya penyair besar Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
“Damiri memiliki kemampuan analisis dan ketajaman berpikir dalam dunia sastra. Sepertinya dia generasi terakhir yang kita miliki, seorang kritisi sastra yang tidak berasal dari dunia akademik,” kata Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari.
Damiri meninggal karena penyakit pernapasan di sebuah rumah papan di gang kecil. Sewaktu ia meninggal, di tempat tidurnya masih terdapat beberapa Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebal, kamus Bahasa Inggris. Sebuah mesin ketik manual yang sudah tua pun berada di meja kecil di dekat tempat tidurnya.
Ichwan mengatakan, dua buku karya Damiri yang sangat monumental ditulis di rumahnya itu yakni “Rumah Tersembunyi Chairil Anwar” dan “Manafsir Kembali Amir Hamzah”. Ketika kritikus besar seperti HB Jassin, AH Johns, A Teeuw, Abdul Hadi WM, dan Sutan Takdir Alisjahbana melihat karya Amir Hamzah sebagai karya mistis yang bersifat utopis belaka, Damiri memurnikan kembali posisi penyair itu sebagai anak manusia yang memiliki rasa cinta, kerinduan, dan penyesalan.
Damiri adalah kritisi sastra, aktivis sastra, sekaligus juga sebagai penyair yang sangat kuat dan mencirikan pujangga Melayu dari generasi terakhir setelah Amir Hamzah. Karya-karyanya juga dikenal hingga ke Malaysia. “Ketika saya masih SMA di akhir 1970-an, saya sering diajak untuk memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui gerakan Sastra Masuk Sekolah,” kata Ichwan.
Menurut Ichwan,dunia budaya kemelayuan juga sangat kehilangan Damiri. Ia banyak mengungkap idiom-idiom melayu dalam puisinya dan menafsirkan kekayaan diksi melayu dalam sajak Chairil Anwar.
Ichwan bersama para sastrawan di Sumut pun sebelumnya sudah berencana menyelenggarakan “Reuni Damiri” di rumah Damiri pada 25 Desember. Karena kondisi kesehatan Damiri menurun, acara itu diundur menjadi 6 Januari. “Namun, Allah berkata lain. Kami merasa sangat kehilangan dengan kepergian Damiri,” kata Ichwan.
Pergaulan luas
Menurut Koko Hendri Lubis, peneliti budaya dan tradisi lisan di Medan, Damiri menjadi pujangga besar yang bisa menjadi kritikus sekaligus menjadi penyair. “Bakat Damiri tumbuh bukan dari perjalanan akademik, tetapi berkat bacaan dan pergaulannya yang luas. Tidak banyak yang bisa seperti itu,” ujarnya.
Fahmi (45), anak Damiri, mengungkapkan, Damiri juga sangat mencintai kampungnya yang merupakan kota kecil Hamparan Perak, sekitar 20 kilometer di sebelah barat laut Kota Medan. Ia merupakan pensiunan pegawai negeri sipil guru Bahasa Indonesia di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kota Rantang di kampung itu. Damiri meninggalkan istri, empat anak, dan tujuh cucunya.
Damiri pun masih terus menulis dari rumahnya yang sederhana. Ia menulis sajak dengan sebuah mesin ketik tua di kamarnya. Ketika usianya semakin tua, ia hanya bisa menulis dengan pena di atas kertas. Puisi itu lalu disalin putrinya dengan mesin ketik. Ia berkarya sampai akhir hayatnya. Pujangga besar dari kampung kecil itu pun kini pergi . . .