Terompet, yang secara tradisi banyak dibeli dan ditiup di malam pergantian tahun, belakangan cenderung kian tak diminati. Berbagai isu buruk tentang aktivitas meniup terompet menjadi salah satu pemicu.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
Terompet, yang secara tradisi banyak dibeli dan ditiup di malam pergantian tahun, belakangan cenderung kian tak diminati. Berbagai isu buruk tentang aktivitas meniup terompet jadi salah satu pemicu. Bahkan, di Magelang, Jawa Tengah, para pedagang sampai menjual terompet sisa stok tahun lalu.
Feri (43), salah seorang pedagang terompet asal Losmenan, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, mengatakan, penurunan permintaan ini terjadi karena dalam dua tahun terakhir terus beredar isu yang kurang menyenangkan terkait terompet.
”Setelah sebelumnya ada isu bahwa ujung terompet berpotensi menjadi media atau sarana penyebaran penyakit berbahaya, perdagangan terompet juga semakin merugi karena banyak yang menyebutkan bahwa kegiatan meniup terompet itu haram,” ujar Feri, Selasa (31/12/2019).
Feri yang telah menjalankan aktivitas berdagang terompet sekitar 10 tahun menyatakan, kemerosotan penjualan terompet dirasakan cukup parah pada 2018. Dari 500 terompet yang ia siapkan, lebih dari 200 terompet tak laku terjual. Sisa stok tersebut akan kembali dijualnya bersama 300 stok terompet baru yang disiapkannya tahun ini.
Menurut Feri, ia dulu menjual terompet berbahan karton dan kertas. Sebagian terompet dibelinya dari Temanggung dan sebagian lain buatan sendiri. Namun, sejak empat tahun lalu, seiring penurunan penjualan terompet dan risiko kerugian yang besar jika terompet rusak tersiram hujan, dia mulai beralih menjual terompet berbahan plastik.
Feri mengatakan, kondisi saat ini memang sudah jauh berubah. Sekitar 10 tahun lalu, banyak orang, sekalipun di rumah, tetap senang meniup terompet berbahan karton dan kertas. ”Dulu, setiap tanggal 31 Desember, saya bisa menjual lebih dari 600 terompet berbahan karton,” ujarnya.
Dengan mempertimbangkan penurunan penjualan yang terus terjadi, Feri tidak berani menaikkan harga jual terompet. Satu terompet dijualnya Rp 30.000, sama dengan harga tahun lalu.
Sepinya permintaan juga dirasakan Arif (38), pedagang terompet dari Kelurahan Magersari, Kecamatan Magelang Selatan. Penurunan permintaan terompet sudah terjadi sejak empat tahun lalu. Hanya saja, kondisi terburuk terjadi sejak dua tahun terakhir.
”Dulu, sisa stok yang belum terjual biasanya hanya lima atau delapan terompet. Tetapi, tahun lalu, hampir 100 terompet tidak laku terjual,” ujarnya. Sama seperti Feri, sisa stok tersebut selama ini disimpan dan dijualnya menjelang pergantian tahun 2020.
Guntoro (45), pedagang terompet dari Desa Sumberejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, juga menyatakan, pada pergantian tahun 2019, menyiapkan 200 terompet untuk dijual. Namun, lebih dari separuhnya tidak laku.
Guntoro yang sehari-hari berdagang mainan anak ini mengatakan, dirinya sudah berjualan terompet selama lima tahun terakhir. Setiap tahun, termasuk tahun ini, dia biasa berjualan selama dua hari, yakni 30 dan 31 Desember.
Namun, kondisi saat ini, diakuinya, sangat berbeda dibanding lima tahun lalu. ”Dahulu, di tanggal 30 Desember saja, saya sudah mampu menjual lebih dari 50 terompet. Namun, tahun ini, sejak kemarin hingga siang ini saja, saya baru bisa menjual sekitar 20 terompet,” ujar Guntoro, yang biasa berdagang terompet di Pasar Rejowinangun.
Guntoro menjual beragam terompet berbahan karton dan plastik dengan harga Rp 5.000-Rp 20.000 per buah.
Sepinya permintaan ini, menurut dia, membuat jumlah pedagang terompet semakin berkurang. Ia mencontohkan, sekitar lima tahun lalu, jumlah pedagang terompet di kawasan Pasar Rejowinangun lebih dari 20 orang. Namun, kini tinggal tersisa dua orang.
”Padahal, dahulu, Kota Magelang banyak diserbu para pedagang terompet dari luar kota, termasuk dari Wonogiri,” ujarnya.
Bagaimanapun, terompet hanya salah satu media bagi warga di penjuru Tanah Air untuk meluapkan kegembiraan merayakan pergantian tahun. Meski demikian, di balik itu, bergantung nasib para perajin hingga pedagang yang setiap akhir tahun terus mengadu untung dengan menjual terompet.