Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh menemukan tulang belulang gajah sebanyak dua ekor di kawasan hutan di Desa Tuwi Pria, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Rabu (1/1/2020).
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
CALANG, KOMPAS — Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh menemukan tulang belulang gajah sebanyak dua ekor di kawasan hutan di Desa Tuwi Pria, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, pada Rabu (1/1/2020). Gajah itu diduga mati sejak dua bulan lalu.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Kamis (2/1/2020), menuturkan, kerangka gajah tersebut awalnya ditemukan masyarakat. Tim gabungan langsung turun ke lokasi untuk memastikan.
”Kami menemukan tulang belulang gajah sebanyak dua ekor. Kami menemukan tengkorak kepala dan tapak kaki,” kata Agus.
Agus menduga gajah itu mati sejak dua bulan lalu. Penyebab kematian satwa lindung itu diduga karena terkena sengatan listrik di kebun warga. Di sekitar lokasi penemuan kerangka gajah ditemukan pagar listrik tegangan tinggi.
”Kami menemukan tulang belulang gajah sebanyak dua ekor. Kami menemukan tengkorak kepala dan tapak kaki,” kata Agus.
”Kami telah melaporkan kasus ini kepada Polres Aceh Jaya untuk diproses hukum,” kata Agus.
Agus mengatakan, pemasangan listrik tegangan tinggi di perkebunan menjadi salah satu ancaman bagi satwa lindung. Agus berharap warga tidak memakai listrik tegangan tinggi, sebab membahayakan satwa dan manusia.
Berdasarkan International Union for Conservation of Nature, gajah termasuk spesies yang kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar. Populasi gajah di Aceh kini hanya 1.700 ekor.
Melindungi
Agus mengajak warga Aceh melindungi gajah karena kini hanya Aceh yang memiliki populasi gajah yang lebih besar daripada provinsi lain.
Konflik gajah di Aceh kian sering terjadi. Pemicunya, habitat gajah semakin sempit lantaran banyak alih fungsi lahan. Sebanyak 85 persen populasi gajah berada di luar kawasan konservasi dan di luar kawasan hutan.
Agus menuturkan, BKSDA Aceh, Dinas Kehutanan Aceh, dan pemkab akan menetapkan kawasan ekosistem esensial pada kawasan habitat gajah. Kawasan esensial akan dikelola dengan mempertimbangkan keberadaan satwa. Saat ini, kawasan esensial telah ditetapkan di Kabupaten Bener Meriah seluas 1.000 hektar.
Sebelumnya, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menuturkan, penanganan konflik satwa di Aceh baru sebatas merespons keadaan, tetapi tidak menyentuh akar masalah.
Nur mengatakan, alih fungsi lahan di kawasan habitat gajah menjadi area budidaya adalah pemicu utama konflik. ”Kepentingan konservasi sering kalah dengan kepentingan ekonomi,” ujar Nur.
Sepanjang 2015 hingga 2019, BKSDA Aceh mencatat gajah yang mati sebanyak 35 ekor. Penyebab gajah mati karena konflik, perburuan, dan kematian alami. Kematian karena konflik paling dominan terjadi mencapai 74 persen.