Kalteng Butuh Komoditas Alternatif Batubara dan Sawit
Ketergantungan terhadap sumber daya alam menyebabkan fundamental ekonomi Kalimantan Tengah tidak stabil. Selain memicu konflik panjang, keuntungan investasi belum bisa dirasakan langsung masyarakat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ketergantungan terhadap sumber daya alam menyebabkan fundamental ekonomi di Kalimantan Tengah tidak stabil. Selain memicu konflik panjang, keuntungan investasi belum bisa dirasakan langsung masyarakat. Kalteng perlu mencari komoditas alternatif yang dampaknya bisa langsung.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalteng mencatat, secara kumulatif terjadi peningkatan nilai ekspor Kalteng yang mencapai 14,66 persen dari 1,7 juta dollar AS pada 2018 menjadi 1,9 juta dollar AS pada 2019. Adapun transaksi impor menurun hingga 62,2 persen.
Bahan bakar mineral masih menjadi komoditas utama ekspor di Kalteng dengan total kontribusi selama 2019 mencapai 40,51 persen. Sisanya komoditas perkebunan, kayu, dan komoditas lainnya.
Kepala BPS Provinsi Kalteng Yomin Tofri di Palangkaraya, Kamis (2/1/2020), mengungkapkan, komoditas batubara dan perkebunan sangat dipengaruhi keadaan global. Hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Kalteng tidak stabil.
Awal 2019, terjadi pelambatan laju perekonomian di Kalteng dampak penurunan permintaan minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang baru kembali meningkat pada akhir tahun. ”Memang butuh (komoditas lain), khususnya komoditas yang selama ini didatangkan dari luar dan selalu menjadi penyumbang inflasi, seperti ayam pedaging dan telur,” ungkap Yomin.
Ia menambahkan, ayam pedaging dan telur selama ini didatangkan dari Kalimantan Selatan atau bahkan dari luar Pulau Kalimantan. Butuh keseriusan pemerintah untuk mendampingi pengusaha ayam pedaging dan petelur hingga tak perlu lagi impor.
”Selain itu, usaha sektor pariwisata dan usaha mikro kecil dan menengah juga harus dikembangkan dan saya rasa pemerintah sedang menuju sana. Ini berjalan terus dan selalu ada perkembangan,” ungkap Yomin.
Ia mengungkapkan, nilai tukar petani (NTP) belum pernah mencapai 100 persen dalam kurun lima tahun terakhir. Artinya, kata Yomin, biaya produksi petani masih jauh lebih besar dibandingkan pemasukan dari hasil produksi.
”Tetapi, ada kenaikan, dari tahun sebelumnya menjadi 98,75 persen itu dari sektor hortikultura dan tanaman pangan,” ungkap Yomin.
Selain tidak stabilnya pertumbuhan ekonomi, data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng menunjukkan, setidaknya terdapat 68 kasus di wilayah perkebunan antara perusahaan dan masyarakat. Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat setidaknya terdapat 115 kasus.
Sebanyak 115 kasus terjadi di 85 desa dari 7 kabupaten dan 1 kota. Kasus-kasus ini melibatkan 47 perusahaan besar swasta (PBS) dan 8 perusahaan pertambangan batubara.
Paralegal telah berperan penting mengidentifikasi dan mendokumentasikan kasus akibat transformasi lahan di Kalimantan Tengah yang saat ini berjumlah 115 kasus (per Agustus 2018).
Kepala Based Project Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalteng Aryo Nugroho mengungkapkan, isu konflik di Kalimantan Tengah saling terkait. Jika di Pulau Jawa banyak terjadi penggusuran, di Kalimantan penyerobotan tanah mendominasi.
”Ini bukan hanya soal perampasan tanah saja, melainkan di dalamnya juga terdapat pelanggaran HAM yang tidak selesai, bahkan beberapa tidak diurus,” kata Aryo.