Di keheningan alam, dalam balutan kabut dan dingin malam serta suasana yang lebih karib, pergantian tahun nyatanya tidak kehilangan maknanya.
Oleh
Reny Sri Ayu/Yola Sastra/Bahana Patria Gupta
·3 menit baca
Melepas akhir tahun dan menyongsong tahun yang baru tak mesti identik dengan pesta kembang api, petasan, maupun riuh suara trompet. Di keheningan alam, dalam balutan kabut dan dingin malam serta suasana yang lebih karib, pergantian tahun nyatanya tidak kehilangan maknanya.
Bias sinar matahari pagi, Rabu (1/1/2020), di kawasan hutan pinus Lembanna, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Gowa, Sulawesi Selatan, samar tertutup mendung. Perlahan hutan pinus di kaki Gunung Bawakaraeng ini diselimuti kabut. Sempat cerah sebentar, lalu gerimis mulai turun.
Ratusan pengunjung yang sejak sehari sebelumnya berkumpul di kawasan hutan pinus ini tak hirau. Mereka tetap bangun dan penuh semangat menyambut hari pertama di tahun 2020.
Malam sebelumnya, mereka melewatkan pergantian tahun dalam suasana lebih karib berselimut dingin malam tanpa hujan. Tak ada petasan, trompet, ataupun kembang api. Hanya ada canda tawa dan sesekali lolongan anjing. Detik-detik pergantian tahun dilewatkan dengan bersalaman, berpelukan. Sebagian dengan isak haru.
Tak ada ingar-bingar pesta Tahun Baru. Rasanya lebih nyaman dan lebih bermakna.
”Saya sengaja menjauh dari kota dan mencari ketenangan dengan mendekatkan diri pada alam. Di sini suasana lebih akrab. Tak ada ingar-bingar pesta Tahun Baru. Rasanya lebih nyaman dan lebih bermakna,” kata Sulfendi Safitri (27), warga Makassar.
Menghabiskan pergantian tahun di puncak gunung menjadi pilihan Ridho Yulianto (21). Pemuda asal Solo, Jawa Tengah, itu berdecak kagum ketika menyaksikan detik-detik terbitnya matahari dari lereng Gunung Kerinci, Jambi, Rabu (1/1/2020) pagi.
Bersama rekannya, Hanif Riski Ramdhani (20), Ridho bergantian mengabadikan momen yang hanya berlangsung dalam hitungan menit itu.
”Momen yang indah sekali. Beruntung sekali pagi ini kami mendapat cuaca cerah. Kemarin sempat badai,” kata Ridho.
Ridho menjadi salah satu pendaki Gunung Kerinci bersama ratusan pendaki lainnya dari Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jambi.
Berdasarkan catatan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, jumlah pendaki melalui Pos Pendakian R10 Kersik Tuo sejak 22 Desember hingga 31 Desember 2019 pukul 09.30 mencapai 1.375 orang.
Tidak seperti detik-detik malam Tahun Baru pada umumnya yang ditandai dengan nyala petasan, di Gunung Kerinci para pendaki tidak menghitung mundur waktu, tetapi memilih beristirahat di tenda.
Puncak perayaan justru terjadi menjelang fajar. Sekitar pukul 03.00 atau pukul 04.00, para pendaki yang berkemah di Shelter 2 (3.056 meter di atas permukaan laut/mdpl) atau Shelter 3 (3.250 mdpl) melanjutkan perjalanan menuju puncak untuk menanti matahari pertama 1 Januari. Suhu udara yang mencapai 10 derajat celsius tidak menjadi kendala.
Harapan yang sama dimiliki wisatawan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Sejak pukul 02.00, wisatawan mulai memadati tempat melihat matahari terbit di salah satu titik di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
”Saya ingin melihat matahari terbit di Tahun Baru sekaligus berwisata mengisi hari libur,” kata salah seorang wisatawan dari Malang, Aditya, yang datang mengendarai sepeda motor.
Peduli lingkungan
Namun, tak semua pengunjung datang ke gunung hanya untuk menanti matahari terbit di Tahun Baru. Sebagian pengunjung Gunung Bawakaraeng ada juga yang menanam pohon. Salah satunya Wanapala Chetengan, sebuah kelompok pencinta alam.
Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Gowa, mereka menanami lereng yang terbakar dengan bibit pohon jabon sejak Sabtu (28/12/2019) dan baru berakhir pada petang menjelang malam pergantian tahun.
Bentuk kepedulian akan ekosistem gunung juga diperlihatkan di Kerinci. Di sana, sampah yang kerap menjadi persoalan selepas para pendaki pulang kini sudah jauh berkurang.
Hal ini tak terlepas dari Gerakan Peduli Sampah yang digagas Komunitas Alko dan komunitas peduli lingkungan lainnya di sana sejak 2018.
Mereka memberi para pendaki kopi 1 kilogram untuk tiap sampah yang dibawa pendaki.
”Saya berharap keasrian dan kebersihan Gunung Kerinci tetap terjaga,” kata Ridho.