Kematian Lima Gajah Sumatera Diduga akibat Tersengat Pagar Listrik
Penemuan tulang belulang gajah sumatera (”Elephant maximus sumatrus”) di Desa Tuwi Pria, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, disimpulkan berjumlah lima ekor. Kasus tersebut didesak agar diusut tuntas.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
CALANG, KOMPAS — Penemuan tulang belulang gajah sumatera (Elephant maximus sumatrus) di Desa Tuwi Pria, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, disimpulkan berjumlah lima ekor. Lima gajah itu diduga tersengat pagar beraliran listrik. Kasus tersebut didesak agar diusut tuntas.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Jumat (3/1/2020), menuturkan, setelah melakukan penyisiran pada Selasa hingga Kamis, pihaknya menemukan tulang belulang gajah di lima titik. Lokasi penemuan tulang tengkorak berada di area budidaya. Namun, tidak ditemukan gading di lokasi tersebut.
Agus memperkirakan, gajah-gajah itu mati sejak dua bulan lalu. Tidak jauh dari titik penemuan tulang belulang gajah terdapat pagar listrik. Agus menduga satwa lindung itu mati akibat tersengat pagar listrik. ”Di sekitar lokasi ada pagar listrik tegangan tinggi dipasang di perkebunan sawit masyarakat,” katanya.
Agus mengatakan, pagar listrik yang dipasang di kebun sawit itu tingginya mencapai 1,5 meter. Dengan ketinggian seperti itu, kemungkinan besar hewan berbadan besar seperti gajah yang akan terkena setrum.
Tulang belulang gajah disimpan di Kepolisian Resor Aceh Jaya sebagai barang bukti untuk proses pengusutan. Agus berharap motif kematian gajah bisa diungkap.
Sepanjang 2015-2020, BKSDA Aceh mencatat, 38 gajah mati. Penyebabnya mulai dari konflik, perburuan, hingga kematian alami. Kematian karena konflik paling dominan, yaitu mencapai 74 persen.
Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser (FKL) Dediansyah mendesak aparat polisi mengusat tuntas motif dan menangkap pelakunya. Menurut dia, kematian lima gajah sekaligus mendatangkan duka yang mendalam bagi dunia konservasi. ”Usut dan tindak pelakunya,” ungkapnya.
Kematian lima gajah sekaligus mendatangkan duka yang mendalam bagi dunia konservasi.
Dediansyah menambahkan, kematian lima gajah itu menunjukkan perlindungan terhadap gajah sumatera masih lemah. Satwa lindung itu terusir dari rumahnya sendiri karena habitatnya rusak.
Dediansyah juga menilai belum semua warga yang tinggal berdampingan dengan kawasan hutan memiliki perhatian khusus terhadap gajah sumatera. ”Harus ada langkah cepat dan strategi tepat untuk melindungi gajah. Jika dibiarkan kondisi seperti ini, suatu saat gajah akan punah,” ujar Dediansyah.
Ketua Pusat Kajian Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Wahdi Azmi menuturkan, kematian lima gajah membuatnya prihatin karena populasi gajah di Aceh kian menyusut. Bagi dunia konservasi, ini adalah peristiwa memilukan. Dia berharap kasus tersebut diungkap tuntas.
Wahdi mendesak perusahaan listrik negara ikut berperan mendidik pelanggan agar menggunakan listrik sesuai dengan peruntukan. Menurut Wahdi, pagar listrik di perkebunan tidak hanya mengancam satwa, tetapi juga manusia.
Wahdi mengatakan, kasus ini menjadi preseden buruk bagi Aceh. Pasalnya, selama ini budaya warga Aceh memosisikan gajah sebagai hewan yang dimuliakan yang disebut Po Meurah. Kian menyedihkan, belakangan, sebagian warga menganggap gajah adalah hama yang mengancam perkebunan.
”Saya berharap para pekerja konservasi tidak patah semangat dengan kejadian ini, justru harus semakin semangat melindungi satwa,” kata Wahdi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Jaya Inspektur Satu Bima Nugraha Putra mengatakan, polisi akan menyelidiki kasus kematian lima gajah itu. Polisi akan memanggil para pihak sebagai saksi, termasuk pemilik kebun yang memasangi pagar listrik dan pihak PLN.
Bima mengatakan, di lokasi penemuan tulang gajah terdapat daun-daun sisa terbakar. Dia menduga, daun-daun itu sengaja dibakar agar bau bangkai tidak menyebar. ”Namun, kami telusuri dulu, nanti baru bisa ditetapkan tersangkanya,” kata Bima.