Angin kencang yang memicu gelombang tinggi hingga potensi bencana puting beliung terus terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya di bagian selatan provinsi ini.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Angin kencang yang memicu gelombang tinggi hingga potensi bencana puting beliung terus terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya di bagian selatan provinsi ini. Kewaspadaan di darat dan laut pun harus ditingkatkan.
Kepala Seksi Observasi Stasiun Meteorologi Maritim BMKG Kendari Adi Istiyono menyampaikan, kecepatan angin terus meningkat beberapa waktu terakhir hingga kecepatan 15-20 knot (28-37 kilometer per jam). Meski masih tergolong sedang, kewaspadaan harus ditingkatkan dengan semakin meningkatnya laju angin.
Kawasan Wakatobi, Buton Selatan, dan Bombana harus lebih waspada karena akan menimbulkan bahaya gelombang tinggi hingga puting beliung.
”Dari pantauan kami, kecepatan angin 15-20 knot, khususnya di wilayah perairan selatan. Kawasan Wakatobi, Buton Selatan, dan Bombana harus lebih waspada karena akan menimbulkan bahaya gelombang tinggi hingga puting beliung,” kata Adi di Kendari, Minggu (5/1/2020).
Menurut Adi, salah satu faktor yang juga membuat kecepatan angin bertambah adalah karena perbedaan tekanan udara dari Asia dan Australia. Panas dari Australia akibat kebakaran hutan membawa udara bertekanan rendah, lalu bertemu udara bertekanan tinggi dari wilayah Asia. Tingginya perbedaan tekanan membuat angin bisa meningkat dengan cepat.
Adi menambahkan, terjadi juga pembelokan angin yang menyebabkan potensi terbentuknya awan hujan cukup tinggi. ”Tekanan udara, massa udara, dan kecepatan angin juga membuat terjadinya awan kumulonimbus di beberapa wilayah,” ujarnya.
Saat ini, kata Adi, wilayah Sultra telah memasuki musim hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi. Peringatan dini terjadinya hujan lebat dikeluarkan untuk sejumlah wilayah, termasuk Kendari, Konawe, Konawe Utara, dan Bombana.
Pada Kamis (2/1/2020) pekan lalu, angin kencang menghancurkan sedikitnya 10 rumah di Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi. Enam rumah rusak berat dan selebihnya rusak sedang dan ringan.
Kami terus berupaya membantu korban agar bisa segera menempati rumah kembali.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wakatobi M Yusuf menuturkan, warga yang terkena puting beliung pekan lalu masih mengungsi di rumah keluarga sampai saat ini. Bantuan makanan telah diberikan kepada korban. Adapun bantuan logistik perbaikan rumah akan dilakukan dalam waktu dekat.
”Kami terus berupaya membantu korban agar bisa segera menempati rumah kembali. Selain itu, kami juga terus memonitor ancaman bencana, khususnya angin kencang dan gelombang tinggi,” kata Yusuf.
Upaya mitigasi, tambah Yusuf, dilakukan dengan sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat. Pelibatan aparat pemerintah hingga tingkat bawah diupayakan agar informasi segera sampai ke masyarakat. Pemberian pemahaman, utamanya ke nelayan, juga dilakukan seiring dengan ancaman gelombang tinggi yang bisa mencapai 4 meter.
Menurut Yusuf, potensi bencana di Wakatobi merata di semua kawasan. Daerah dengan kondisi geografis yang terdiri dari dataran rendah, pesisir, dan pulau-pulau itu membuat ancaman bisa terjadi di mana saja.
Meski telah memasuki musim hujan dengan ancaman gelombang tinggi di perairan Sultra, sejumlah nelayan tetap melaut. Ratusan kapal nelayan terlihat bersandar di perairan Teluk Kendari sehabis melaut.
Mahmud (56), seorang nakhoda kapal, menuturkan, ia baru kembali dari perairan Maluku pada Minggu dini hari. Dia memakai kapal berbobot 30 gros ton (GT). ”Hari ini dapat 8 ton cakalang. Hasilnya sedang bagus, makanya kami tetap berangkat melaut. Ini kami sedang siap-siap, besok berangkat lagi,” katanya.
Mahmud mengatakan, ia tetap akan melaut di tengah berbagai peringatan terkait kondisi cuaca buruk. Meski demikian, informasi cuaca tetap akan menjadi pegangannya selama melaut hingga beberapa waktu ke depan.
Menurut Mahmud, kondisi cuaca seperti sekarang menjadi tantangan bagi nelayan di Indonesia. ”Namun, ikan lagi banyak-banyaknya. Kalau tidak melaut, kami makan apa?”