Tanpa Dana Darurat, Penanganan ASF di Sumut Tak Optimal
Penanggulangan demam babi Afrika belum optimal meski sudah hampir sebulan dideklarasikan Kementerian Pertanian. Pemerintah daerah belum bisa bergerak karena tidak ada dana darurat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Penanggulangan demam babi Afrika atau ASF belum optimal meski sudah hampir sebulan dideklarasikan Kementerian Pertanian. Pemerintah daerah belum bisa bergerak karena tidak ada dana darurat. Kondisi tersebut ikut memukul perusahaan skala besar yang tak bisa menjual ternak.
Kematian babi yang dilaporkan sudah mencapai 42.000 ekor, bertambah 12.000 dalam dua pekan terakhir. “Kasih kesempatan Gubernur untuk berpikir selama satu bulan ini. Prioritas saat ini mengantisipasi keluarnya babi dari Sumut ke luar supaya jangan membuat wabah menular ke tempat lain,” kata Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, di Medan, Senin (6/1/2020).
Edy mengatakan, ia belum memutuskan kasus wabah demam babi Afrika (African swine fever/ASF) itu sebagai bencana daerah. Hal itu membuat Pemerintah Provinsi Sumut belum bisa menggunakan dana tanggap darurat untuk melakukan penanggulangan. Namun, ia menyebut akan menyiapkan anggaran dari APBD Sumut.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap menjelaskan, perusahaan skala besar juga mulai terpuruk karena ternak babi mereka tidak terserap pasar. Produksi babi dari perusahaan tidak bisa keluar dari Sumut sejak deklarasi wabah ASF. Penurunan penjualan mencapai 80 persen. “Ternak babi kini menumpuk di kandang perusahaan karena tidak bisa dijual,” katanya.
Menurut Azhar, pihaknya akan bertemu dengan perusahaan untuk mencari jalan keluar. Pasalnya, masih ada kemungkinan babi dari perusahaan bisa dijual keluar Sumut khususnya dari kandang yang masih bebas dari ASF.
Ia mengatakan, mereka juga akan mengadakan rapat dengar pendapat dengan DPRD Sumut yang juga dihadiri oleh perwakilan Kementerian Pertanian. Rapat itu akan membahas langkah teknis dan anggaran untuk penanggulangan wabah ASF.
Meskipun wabah sudah menyebar sejak September, Azhar menyebut, hingga kini Pemprov Sumut belum mempunyai anggaran untuk penanggulangan ASF. Anggaran Rp 5 miliar dari Kementerian Pertanian tidak disalurkan kepada pemerintah daerah. “Itu Kementerian Pertanian yang menggunakan, tidak ada kami sentuh,” ujarnya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo Matehsa Purba mengatakan, mereka kini berfokus untuk sosialisasi agar masyarakat tidak takut mengonsumsi daging babi. Hal itu sangat penting agar depopulasi atau pengurangan populasi bisa berlangsung secara alami tanapa merugikan peternak. Depopulasi penting untuk memutus rantai penularan virus.
Matehsa mengatakan, peternak kian terpuruk karena kesulitan menjual ternaknya. Harga babi pun menurun dari Rp 30.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 10.000 per kg. “Padahal, babi yang terjangkit pun sebenarnya aman dikonsumsi karena virus ASF tidak menular ke manusia,” katanya.
Selain sosialisasi, kata Matehsa, mereka juga menutup lalu lintas hewan dengan tidak mengeluarkan surat keterangan kesehatan hewan. “Namun, penjagaan lalu lintas secara langsung di lapangan belum bisa dilakukan karena belum ada anggaran,” ujarnya.
Andri Siahaan (33), peternak babi di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, mengatakan, wabah ASF masih terus menyebar ke kandang-kandang di desanya. Kematian babi pun masih terus terjadi di sentra peternakan itu. Pengepul babi kini tidak beraktivitas lagi. “Babi yang sehat pun tidak laku lagi dijual,” katanya.
Andri mengatakan, belum mendapat penanganan apa pun dari pemerintah. Sebagian besar peternak bahkan tidak tahu wabah apa yang menyerang ternak mereka.