Indonesia Butuh 17 Juta Tenaga Kerja Manufaktur di Tahun 2025
Indonesia membutuhkan pekerja manufaktur dan penunjangnya sebesar 17 juta di tahun 2025. Kompetensi sumber daya manusia menjadi kunci membangun industrialisasi berbasis teknologi digital yang menjadi basis produksi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Indonesia membutuhkan pekerja manufaktur dan penunjangnya sebesar 17 juta di tahun 2025. Kompetensi sumber daya manusia menjadi kunci membangun industrialisasi berbasis teknologi digital yang menjadi basis produksi.
Staf Ahli Menteri Bidang Iklim dan Investasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Imam Haryono di Bandung, Selasa (7/1/2020) menuturkan, Indonesia diprediksi masuk ke dalam 10 negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030. Poin tersebut antara lain, 10 persen dari ekspor bersih terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), peningkatan produktivitas dan alokasi anggaran untuk penelitian, dan pengembangan sebanyak 2 persen. Jika hal tersebut dapat tercapai, di Indonesia akan terbuka lapangan pekerjaan yang sangat besar.
Menurut data yang dihimpun Kemenperin, kebutuhan pekerja di bidang manufaktur mencapai 4,5 juta orang. Sedangkan untuk tenaga penunjang, Indonesia membutuhkan sekitar 12,5 juta pekerja. Jika porsi tersebut tidak bisa dipenuhi, Imam menyatakan, Indonesia bakal kesulitan berkembang.
“Kuncinya sumber daya manusia (SDM) unggul, apalagi untuk era industri 4.0 yang identik dengan teknologi digital,” ujarnya saat mengisi materi dalam Grand Seminar pada kegiatan The 9th Industrial Engineering Competition (IECOM) 2020 oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung.
Menurut Imam, kondisi tersebut menjadi tantangan bagi berbagai pihak. Akademisi dan lembaga pendidikan yang memiliki kompetensi diharapkan bisa memberikan materi sesuai dengan kebutuhan industri. Jika tidak terpenuhi, operasional perusahaan akan terkendala dan berdampak pada produktivitas.
“Kalau belum terpenuhi, kami akan coba datangkan tenaga ahli dari negara lain. Namun, mereka harus sharingknowledge (berbagi pengetahuan) dengan SDM lokal,” tuturnya.
Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan ITB Bambang Riyanto Trilaksono dalam sambutannya menuturkan, era industri 4.0 marak dibicarakan. Teknologi digital yang lebih intensif membuat pekerjaan menjadi lebih pintar, fleksibel dan otomatis, seperti kecerdasan buatan, robot, hingga keamanan.
“Tentu kita semua harus bisa membekali diri. Bisa saja dengan meningkatkan literasi sehingga dapat menyongsong era 4.0,” ujarnya.
Kalau belum terpenuhi, kami akan coba datangkan tenaga ahli dari negara lain. Namun, mereka harus sharingknowledge (berbagi pengetahuan) dengan SDM lokal. (Iman Haryono)
Ancaman
Pengamat Pendidikan dari Univesitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan berpendapat, kondisi tersebut dapat menjadi peluang besar mengingat Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi di dekade 2030 tersebut. Namun, jika tidak dipenuhi, kebutuhan tersebut akan menjadi ancaman.
Cecep menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan di bidang manufaktur, tenaga kerja yang ada harus memiliki pendidikan keterampilan yang tinggi. Apalagi, dunia industri sudah meningkat ke era 4.0 yang identik dengan teknologi digital. Jika tidak segera dipenuhi, pengangguran akan menumpuk karena tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan.
“Bayangkan saja, waktu pendidikan rata-rata warga Indonsesia saat ini masih 8,9 tahun. Idealnya, pendidikan rata-rata itu 12 tahun. Pemerintah harus bisa bertindak cepat. Jika tidak, bonus demografi akan berubah jadi musibah,” ujarnya.
Menurut Cecep, tahun 2020 menjadi momentum yang tepat untuk berubah. Tidak hanya dari sudut pandang terkait kebutuhan pendidikan dari masyarakat, penyediaan sarana pendidikan tidak hanya dari pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan berbasis keterampilan seperti sertifikasi dan vokasi.
“Harus ada akselerasi SDM dengan melakukan berbagai pendidikan keterampilan seperti sekolah menengah kejuruan dan pendidikan vokasi lainnya. Namun, materi yang ada juga harus link and match dengan kebutuhan industri,” tuturnya.