Masih Trauma, Korban Banjir Kepulauan Sangihe Takut Pulang
Sebagian warga di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang dilanda banjir bandang masih takut pulang ke rumah karena trauma setelah dilanda banjir dan longsor. Sejauh ini, bantuan logistik mencukupi kebutuhan dasar warga.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
KEPULAUAN SANGIHE, KOMPAS – Sebagian warga di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang dilanda banjir bandang masih takut pulang ke rumah karena trauma setelah dilanda banjir dan longsor. Bantuan logistik yang terus mengalir memungkinkan kebutuhan dasar mereka tetap terpenuhi di pos pengungsian.
Di Kampung Ulung Peliang, Kecamatan Tamako, puluhan korban banjir masih lebih memilih mengungsi di Gereja Masehi Injili di Sangihe-Talaud (GMIST) Jemaat Imanuel, Kamis (9/1/2020). Waktu mereka diisi dengan duduk dan bercengkerama dengan sesama pengungsi atau tidur. Sesekali para pengungsi menyambut para relawan pembawa bantuan.
Nasiun Onto (54), warga Lingkungan 1 Ulung Peliang, mengatakan, rumahnya tidak rusak parah, hanya tergenang air dan lumpur. Warga telah bergotong royong membersihkan rumah. Ia sendiri, setiap hari mulai pulang ke rumah untuk mandi. “Tapi, sejak Jumat saya mengungsi. Kalau hujan sedikit saja, saya langsung takut. Lebih baik mengungsi dulu,” ujarnya.
Sementara itu, Desya Tampomanise (24) mengatakan, dirinya juga memilih tinggal di pos pengungsian. Makan sehari-hari pun tetap mengandalkan bantuan bahan makanan darurat. Ia masih belum berani kembali ke kebunnya untuk mengecek panen cengkeh, pala, maupun kelapa miliknya.
“Masih trauma, takut longsor. Enggak tahu nasib kebun saya bagaimana, katanya rusak semua. Padahal, kami hidup dan cari makan dari kebun,” kata Desya.
Meski demikian, Kepala Kampung Ulung Peliang Timotius Tatontos berpendapat, kondisi psikologis warga kian membaik. Setelah seminggu mengungsi, warga bisa kembali ke rumah masing-masing, kecuali enam keluarga yang rumahnya hancur dihantam bebatuan dan kayu yang terbawa arus banjir bandang.
Untuk itu, ia mengatakan, pemerintah desa berencana menyiapkan tanah bagi enam keluarga tersebut. “Nanti dinas sosial yang akan membangun rumahnya,” katanya.
Timotius menjamin, kebutuhan dasar 211 warga yang mengungsi di gereja maupun rumah kerabat masing-masing telah terpenuhi. Di pos pengungsian, karung-karung beras, kardus-kardus mi instan, telur, gula, kopi, dan pakaian layak pakai masih menumpuk. Bantuan pun terus berdatangan.
Bantuan juga dibagikan kepada warga Lingkungan 3 dan 4 yang terisolasi akibat putusnya jembatan beton sepanjang sekitar 50 meter. Jembatan itu satu-satunya penghubung dengan Lingkungan 1 hingga jalan provinsi di sepanjang pantai barat Pulau Sangihe.
Saat ini, warga bekerja sama dengan kepolisian dan TNI memotong dan memindahkan kayu-kayu di sepanjang daerah aliran sungai di bawah jembatan. Adapun bongkahan batu-batu besar masih belum dapat dipindahkan.
Theopilus Mamonto (50), yang tinggal 19 tahun di area Lingkungan 3 dekat jembatan, mengatakan, banjir bandang ini adalah kali ketiga, setelah 2001 dan 2011. Pada 2001, banjir bandang juga datang dari sungai di bukit yang sama di sisi utara perkampungan dan menewaskan 19 orang. “Kali ini tidak ada korban jiwa soalnya kejadiannya pagi-pagi saat sudah mulai terang,” katanya.
Ulung Peliang berada di kaki bukit Gunung Sahendarumang yang kini tak lagi aktif. Sejak dulu, bebatuan besar yang diduga batu vulkanik banyak terdapat di perbukitan tersebut, termasuk di dasar sungai. Saat longsor, bebatuan dan kayu-kayu pepohonan kemudian menumpuk di daerah aliran sungai dan menghambat laju air.
“Lama-lama jadi semacam bendungan. Saat hujan besar, aliran air menguat hingga akhirnya bendungan itu pecah. Jadilah banjir bandang. Dari dulu selalu seperti itu,” katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Sangihe Revolius Pudihang mengatakan, banjir bandang dengan penyebab sama pernah terjadi pada 2016 di Kolongan Akembawi, Tahuna Barat. “Tekstur tanah dan dasar sungai memang berbatuan. Kekuatan air yang sangat besar ditambah longsoran bisa mendorong batu-batu itu,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR RI Felly Runtuwene yang mengunjungi Lebo dan Ulung Peliang di masa reses menyatakan, akan menyampaikan kondisi jembatan di Ulung Peliang kepada Komisi V. “Saya akan laporkan agar infrastruktur segera dibangun. Pipa-pipa air bersih juga perlu diperbaiki,” katanya.
Tanggap darurat
Revolius menambahkan, saat ini Kepulauan Sangihe berstatus tanggap darurat bencana selama 14 hari, hingga Kamis (16/1). Tindakan yang diutamakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar korban serta pembersihan lokasi bencana.
“Saat ini kami mendistribusikan logistik ke korban sekaligus membersihkan lokasi bencana. Nanti, saat bencana sudah berlalu, akan masuk tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, membangun lagi infrastruktur dan rumah,” katanya.
Kepala Seksi Pemeliharaan Logistik dan Peralatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Satrio Nurhadi Wibowo mengatakan, bantuan logistik telah didatangkan dari Manado. “Ada 1.000 selimut, 1.000 matras, 1.000 paket sembako, tiga menara lampu, dan lima tenda pengungsi,” katanya.
Alista Laumbure (41), warga Lebo, Kecamatan Manganitu menuturkan, akibat banjir bandang, rumahnya tersapu bersih dan tidak memiliki apa-apa lagi. Ia bersyukur tidak kekurangan pakaian dan makanan bantuan.
“Tapi, enggak ada pakaian dalam dari BNPB. Setelah kejadian, saya cuma punya yang menempel di badan. Mau beli di toko juga tidak bisa,” katanya.