Penegakan Hukum untuk Tangani Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Kekerasan dalam rumah tangga mendominasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Solo Raya atau eks-Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS - Kekerasan dalam rumah tangga mendominasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Solo Raya atau eks-Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Supremasi hukum perlu ditegakkan melalui Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Manajer Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat, Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, Fitri Haryani mengatakan, data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Solo Raya meliputi Solo, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Boyolali, dan Klaten, pada 2019 tercatat 208 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dari jumlah itu, sebanyak 104 kasus merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kasus KDRT yang dialami perempuan dan anak terbanyak ada di Solo, yaitu 32 kasus, Karanganyar 23 kasus, Sukoharjo 19 kasus, Sragen 6 kasus, Klaten 10 kasus, Wonogiri 11 kasus, dan Boyolali 3 kasus.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak didominasi KDRT. Tetapi yang juga harus jadi perhatian adalah kasus-kasus perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual hampir terjadi di seluruh wilayah,” kata Fitri dalam Launching Catatan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan SPEK-HAM di Solo, Kamis (9/1/2020).
Menurut Fitri, data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut berasal dari korban yang mengadukan kasusnya dan tercatat di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan anak di Solo Raya. Pihaknya menduga sebenarnya lebih banyak lagi KDRT maupun kasus-kasus lain dengan korban perempuan dan anak di masyarakat. “Ada kemungkinan ini seperti fenomena gunung es,” katanya.
Sementara itu, selama Januari-November 2019, SPEK-HAM menangani 55 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari 55 kasus tersebut, 31 kasus di antaranya di Solo dan Sukoharjo sebanyak 11 kasus, Karanganyar 5 kasus, Klaten 3 kasus, dan Boyolali 2 kasus.
Selain itu, ada 3 kasus lain ditangani SPEK-HAM dengan korban dari Kota Semarang, Rembang, dan Jakarta. Bentuk kekerasan, yaitu ekonomi (2 kasus), kekerasan fisik (8), penelantaran (16), psikologis (11), seksual (8), dan sosial (10).
“Dilihat dari relasi korban dan pelaku, tidak ada korban yang tidak mengenal pelaku. Ada yang (pelakunya) suami, mantan pacar, mantan suami, pacar, dan atasan. Relasi lingkungan terdekat bisa jadi menjadi pelaku,” ujarnya.
Fitri mengatakan, kebanyakan perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga enggan melaporkan atau membawa kasus yang dialaminya ke proses pidana. Hal ini karena proses hukum membutuhkan waktu penyelesaian yang panjang. “Perlu ada terobosan hukum yang lebih berpihak kepada korban,” katanya.
Oleh karena enggan membawa ke jalur hukum, lanjut Fitri, korban KDRT cenderung memilih penyelesaian secara perdata ataupun perceraian. Untuk itu, perlu ada dukungan pemberdayaan ekonomi terhadap korban dari pemerintah agar bisa mandiri secara ekonomi.
Adapun untuk menekan KDRT, diperlukan penegakan supremasi hukum. “Perlu adanya supremasi hukum terkait dengan penegakan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” katanya.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat Solo, Selfi Rawung mengatakan, untuk pemberdayaan ekonomi para korban KDRT, Pemkot Solo memberikan pelatihan keterampilan sesuai bakat dan minat korban, misalnya pelatihan rias pengantin.
Meski demikian, tidak semua korban KDRT bersedia mengikuti program pelatihan untuk pemberdayaan ekonomi. Sementara itu, untuk kembali membangkitkan kepercayaan diri, korban KDRT juga direkrut menjadi kader-kader posyandu.