Pemulihan Fungsi Ekologis Tak Cukup Sebatas Menanam Pohon
Upaya memulihkan fungsi ekologis hutan tak cukup hanya sebatas menanam pohon. Pohon-pohon yang ditanam perlu dijaga oleh masyarakat sekitar, yang juga harus didampingi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Upaya memulihkan fungsi ekologis hutan tak cukup hanya sebatas menanam pohon. Pohon-pohon yang ditanam perlu dijaga oleh masyarakat sekitar, yang juga harus didampingi. Hal itu guna memastikan pemulihan hutan berjalan hingga selesai dan masyarakat menikmati manfaatnya, baik secara langsung maupun tak langsung.
Fairventures Worldwide, organisasi lingkungan hidup asal Jerman di Kalimantan Tengah, baru saja menyelesaikan target satu juta pohon yang ditanam di lahan seluas 1.000 hektar atau setara dengan 280 kali lapangan sepak bola. Program yang mulai berjalan sejak 2014 itu melibatkan ribuan petani yang selesai pada tahun 2019. Program pun masih terus berlanjut.
Jenis-jenis pohon yang ditanam itu dipastikan memiliki kandungan leguminosa yang dapat mengembalikan kesuburan tanah.
Beberapa jenis pohon yang ditanam, antara lain, sengon (Albizia chinensis), jabon (Neolamarckia cadamba), dan hantangan. Menurut Monalisa, Staf Humas Fairventures Worldwide, selain menanam tanaman keras, warga juga menanam sayuran atau buah-buahan di sela-sela tanaman keras menggunakan sistem tanam campur sari.
“Selain untuk pendapatan alternatif, jenis-jenis pohon yang ditanam itu dipastikan memiliki kandungan leguminosa yang dapat mengembalikan kesuburan tanah,” ungkap Monalisa, di Palangkaraya, Jumat (10/1/2020).
Monalisa menambahkan, sebagian besar lahan yang menjadi sasaran penanaman merupakan kebun milik warga yang memang masih memiliki tutupan hutan. Dengan penanaman pohon itu, fungsi hutan akan kembali maksimal tetapi tidak melupakan dampak ekonomis untuk masyarakat.
Kayu sengon bisa dijual dan masyarakat masih bisa menanam berbagai sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Saat Kompas mengunjungi beberapa lokasi penanaman tahun 2017 lalu, masyarakat bahkan mulai mengganti sistem monokultur, yang biasanya hanya ditanami sawit atau karet, menjadi berbagai jenis tanaman keras. Sistem ini juga disebut agroforestri.
“Lima tahun program ini berjalan, kami belajar banyak hal. Tidak hanya menanam pohon, tetapi bagaimana membangun kerja sama dengan masyarakat kemudian menghubungkan mereka dengan industri di Kalimantan maupun di Jawa,” kata Monalisa.
Selain Fairventures Worldwide, ada juga Borneo Nature Foundation (BNF) bersama CIMTROP Universitas Palangka Raya. Mereka baru-baru ini menanam 50.000 pohon endemik gambut di wilayah Taman Nasional Sebangau.
Lokasi penanaman di lahan bekas terbakar pada 2015 dan 2019. Tak hanya menanam, mereka juga memiliki lahan khusus untuk pembibitan atau nursery. Selain masyarakat, mahasiswa dan pelajar diajak untuk menanam dan menjaga kawasan tersebut.
Musim tanam dimulai pada September 2019 dan akan berakhir pada Maret 2020. Hingga saat ini, BNF dan CIMTROP-UPR sudah menanam sebanyak 26.656 pohon di lahan seluas 32 hektar.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kawasan hutan terbuka dan melepas banyak karbon.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) CIMTROP Yusurum Jagau mengungkapkan, hutan yang terbuka atau dengan tutupan yang minim akan membuang karbon lebih kuat dibanding yang tertutup. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kawasan hutan terbuka dan melepas banyak karbon.
Proses oksidasi, tambah Yusurum, juga menjadi lebih cepat dan berdampak pada kualitas air yang buruk. “Kawasan ini memiliki wilayah gambut sedang hingga kubah gambut. Penanaman pohon mampu memulihkan gambut yang rusak,” ungkapnya.
Perhutanan sosial
Konsep menanam pohon juga sejalan dengan program perhutanan sosial di Kalteng yang dijalankan pemerintah provinsi. Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Kalteng Ihtisan menjelaskan, perhutanan sosial membantu mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan yang rusak.
Sampai saat ini, dari data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, terdapat 151 izin perhutanan sosial dengan luas mencapai 205.903,95 hektar. Rinciannya, 28 hutan desa seluas 79.531 hektar, 69 hutan kemasyarakatan seluas 68.107,99 hektar, 51 hutan tanaman rakyat dengan total luasan mencapai 57.640,96 hektar, dan tiga izin hutan adat yang akan diserahkan kepada masyarakat dengan luas mencapai 624 hektar.
“Memang ada target besar, yakni 1,5 juta hektar. Kami perlahan, tapi dikerjakan. Intinya, masyarakat sejahtera dulu baru hutan akan lestari. Kalau dibalik, sulit,” ungkap Ihtisan.
Monalisa menambahkan, pihaknya mendapatkan izin hutan kemasyarakatan pada 2018 untuk Kelompok Tani Batu Bulan yang luasnya mencapai 2.925 hektar. Meskipun demikian, dalam implementasinya, masyarakat masih kesulitan mengelola kawasan itu.
Hal tersebut disebabkan minimnya kemampuan mengelola bisnis di bidang perhutanan dan kendala akses modal. “Posisi kami untuk mendampingi dan membuka jalan terkait kesulitan itu, sehingga tidak melupakan akses ekonomi untuk masyarakat,” ungkap Monalisa.