Sejumlah eks awak kapal perintis yang dipecat PT Pelni menuntut hak pesangon mereka. Sudah setengah tahun berlalu, janji tersebut tidak kunjung direalisasikan kendati telah diakui haknya oleh pihak Pelni.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Sejumlah eks awak kapal perintis, kapal yang dioperasikan PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), kecewa dengan keputusan manajemen perusahaan yang dianggap merugikan mereka. Mereka dipecat dengan surat mutasi tanpa mendapatkan hak pesangon. Kendati telah diakui haknya oleh pihak Pelni, mereka tak kunjung mendapatkannya.
Labaco (46), eks anak buah Kapal Motor Sabuk Nusantara 43 di Ambon, mengatakan, hingga Minggu (12/1/2020), janji dari Pelni untuk membayar pesangon mereka belum juga direalisasi. ”Kami menilai, Pelni sengaja menggantung sampai berlarut-larut dan ujung-ujungnya mereka tidak akan bayar,” kata mantan mualim I di kapal tersebut.
Belakangan, setelah tidak lagi mendapat gaji, mereka baru sadar bahwa mereka ternyata dipecat.
Ia menuturkan, pemutusan hubungan kerja oleh pihak Pelni itu dilakukan pada Mei 2018. Setelah kapal kembali ke pangkalan di Ambon saat itu, mereka lalu diberi surat mutasi. Surat itu berisi perintah untuk turun ke darat dan diganti anak buah kapal yang lain. Mereka tak ditempatkan di kapal lain dan diminta menunggu di rumah. Belakangan, setelah tidak lagi mendapat gaji, mereka baru sadar bahwa mereka ternyata dipecat.
Menurut Labaco, 17 orang mendapat perlakuan seperti itu. Semuanya bekerja di kapal perintis yang melayari sejumlah wilayah di Maluku. Lima orang di KM Sabuk Nusantara 43, empat orang di KM Maloli, dan delapan orang di KM Sabuk Nusantara 33. Rata-rata lamanya mereka bekerja di kapal sekitar dua tahun.
Mereka lalu menuntut hak dengan mendatangi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Maluku. Atas bantuan pihak dinas, mereka dipertemukan dengan pihak Pelni hingga tercapai kesepakatan. Pelni berjanji akan membayar pesangon tersebut. Kesepakatan itu diambil pada pertengahan 2019. Namun, setengah tahun berlalu, Pelni tak kunjung membayar sesuai dengan kesepakatan bersama itu.
”Menurut skema perhitungan dinas tenaga kerja, saya seharusnya mendapatkan Rp 102 juta, tetapi pihak Pelni menawar hingga Rp 65 juta. Dipotong banyak sekali. Semuanya dipotong. Setelah dipertimbangkan, kami akhirnya menerima apa maunya Pelni dengan harapan Pelni akan membayar sebesar itu. Kenyataannya tidak jelas,” ujar Labaco. Ketika masih bekerja, ia digaji Pelni Rp 21 juta per bulan.
Rihan Sujatmiko Watimena (41), eks kepala dapur pada KM Sabuk Nusantara 33 yang juga dipecat, menuturkan, mereka pun nyaris tidak mendapatkan uang dari BPJS Ketenagakerjaan yang dipotong dari gaji mereka setiap bulan. Pasalnya, mereka tidak diberi surat pemberhentian kerja dari Pelni. Surat mutasi yang mereka dapatkan tidak bisa menjadi dasar untuk pencairan di BPJS.
”Kami kemudian datang ke Pelni untuk minta surat agar kami bisa lakukan pencairan di BPJS. Tapi, itu pun prosesnya lama sekali. Kami diputar-putar dan dilempar ke sana kemari. Kami akhirnya cari rumah kosan direktur operasi Pelni Ambon dan kami desak dia untuk tanda tangan surat untuk kami. Kami merasa perlakuan Pelni ini sudah sangat keterlaluan,” kata Rihan.
Kepala Bidang Pencegahan pada Ombudsman Kantor Perwakilan Maluku Samuel Hatulely mengatakan, pihaknya terlibat dalam advokasi kasus yang dialami eks anak buah kapal itu. Ia menuturkan, pihak Pelni Cabang Ambon sudah berjanji akan membayar pesangon mereka yang diberhentikan.
”Katanya yang transfer uang nanti pihak Pelni di pusat. Kami menduga, ada persoalan di internal Pelni atau ada miskomunikasi antara Pelni di Ambon dan Pelni pusat,” ujar Samuel.
Ia mendesak Pelni agar segera melaksanakan kewajibannya. Jika hingga akhir bulan ini belum dilaksanakan, mereka akan kembali memanggil dan memeriksa pihak Pelni. Selanjutnya, Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi kepada institusi lain untuk menangani perkara tersebut. ”Ini perkara perdata yang bisa membias ke pidana. Ada dokumen yang bisa mengarah ke situ,” katanya.
Kepala PT Pelni Cabang Ambon Rudi Penturi, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, kasus itu terjadi sebelum dirinya memimpin Pelni di Ambon. Meski begitu, dirinya mengetahui kasus tersebut. Saat ini, utusan Pelni Ambon sedang berada di Jakarta untuk mengurusi masalah tersebut. ”Nanti akan disampaikan hasilnya seperti apa,” katanya.