Pada musim hujan, volume produksi keripik gethuk khas Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyusut. Hal ini terjadi akibat penurunan kualitas bahan baku singkong, yang dipicu oleh tingginya intensitas hujan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pada musim hujan ini, volume produksi keripik gethuk khas Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyusut. Hal ini terjadi akibat penurunan kualitas bahan baku singkong, yang dipicu oleh tingginya intensitas hujan.
Keripik gethuk adalah keripik yang dibuat dari singkong yang ditumbuk, dibumbui, dibuat menjadi adonan gethuk dan diiris tipis-tipis.
Wanto (36), salah seorang produsen keripik gethuk asal Desa Ngadiharjo, Kecamatan Borobudur, mengatakan, pada musim hujan sejak akhir Desember 2019 hingga sekarang, aktivitas produksi keripik tidak bisa dilakukan optimal karena banyak bahan baku singkong gagal diolah.
”Sekalipun bisa dibentuk menjadi adonan dan diiris, banyak potongan gethuk akhirnya hancur, remuk, saat digoreng,” ujarnya, Minggu (12/1/2020).
Remahan itu pada akhirnya dikemas dan terpaksa dijual sebagai produk gagal atau reject, dengan harga Rp 3.000 per kemasan. Volume remahan keripik saat ini pun melimpah. Jika biasanya hanya menghasilkan maksimal 10 kemasan remahan per hari, sekarang ini, volume remahan bisa mencapai 30-40 kemasan per hari. Satu kemasan berisi sekitar 0,25 kilogram (kg) remahan.
”Sekalipun bisa dibentuk menjadi adonan dan diiris, banyak potongan gethuk akhirnya hancur, remuk, saat digoreng,” ujar Wanto
Untuk memproduksi keripik gethuk, Wanto mengatakan, pihaknya biasa menggunakan bahan baku 7-8 kuintal singkong per hari. Namun, jika biasanya dari bahan baku tersebut dia bisa mendapatkan 150 kantong per hari, sekarang ini, volume produksi pun menyusut menjadi 120 kantong per hari. Adapun, satu kantong berisi 2,5 kg keripik gethuk. Keripik berkualitas bagus yang dijual dalam kantong besar ini, ditawarkan dengan harga Rp 45.000 per kantong.
Pada setiap musim hujan, menurut Wanto, penurunan produksi dan buruknya kualitas singkong ini menjadi rutinitas yang terjadi pada setiap musim hujan. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas hujan yang menyebabkan singkong yang sebenarnya sudah memasuki usia panen kembali muda dan kurang matang. Kondisi itulah yang membuat singkong menjadi sulit diolah dan banyak menghasilkan produk gagal.
Hal serupa juga dialami oleh Muwul (30), perajin keripik gethuk di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur. Volume produksi keripik gethuk, menurut dia, tidak bisa dilakukan optimal karena kualitas dari banyak bahan baku singkong kurang memenuhi syarat.
”Kondisi singkong yang kurang memenuhi syarat seperti terlalu lembek, tidak mungkin kami paksakan menjadi keripik. Singkong lembek itu biasanya kami olah menjadi tape,” ujarnya.
Setiap hari, Muwul menggunakan bahan baku satu kuintal singkong. Namun, jika biasanya, dari bahan baku tersebut bisa dihasilkan empat kantong besar kerpik gethuk, sekarang ini, rata-rata volume produksi hanya dua kantong besar keripik gethuk. Satu kantong besar tersebut berisi 50 kg keripik.
Pada sebagian singkong, kondisi kualitas yang buruk tersebut diketahui sejak masih dalam kondisi mentah. Namun, pada sebagian singkong lainnya, kondisi tersebut ditunjukkan baru setelah diolah sehingga akhirnya menghasilkan produk keripik yang kurang bagus seperti terlalu keras, tidak renyah, dengan ukuran keripik yang tidak bisa melebar.
Khotimah (72), salah seorang perajin lainnya, mengatakan, singkong berkualitas bagus dan memenuhi syarat menjadi bahan baku keripik, memang sulit dicari pada musim hujan. Karena lebih banyak singkong yang berkualitas buruk dan lembek, tak jarang sejumlah perajin termasuk dirinya pun terpaksa menghentikan aktivitas produksi untuk sementara waktu.