Realisasi moratorium izin pengelolaan lahan gambut di Kalimantan Barat mesti diawasi ketat. Dari 125.000 hektar lahan yang terbakar sepanjang 2019, setidaknya sekitar 50 persen diperkirakan merupakan area gambut.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Realisasi moratorium izin pengelolaan lahan gambut di Kalimantan Barat mesti diawasi ketat. Dari 125.000 hektar luasan lahan yang terbakar sepanjang 2019, setidaknya sekitar 50 persen diperkirakan merupakan area gambut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Nikodemus Ale, Senin (13/1/2020), memaparkan, dari 125.000 hektar (ha) total lahan yang terbakar tahun lalu, setidaknya 50 persen adalah lahan gambut. Pada 2019, di Kalbar, terdeteksi 26.000 titik panas sejak Mei-Oktober dan memuncak sepanjang Agustus-Oktober.
“Penanganan kebakaran hutan dan lahan perlu fokus pada area yang rawan terbakar. Dengan demikian, mempermudah pengawasan lahan. Program Badan Restorasi Gambut (BRG) di daerah juga perlu dimaksimalkan,” ujarnya.
Selain itu, organisasi sipil masyarakat diharapkan tetap berperan meningkatkan kapasitas masyarakat melalui sosialisasi di sekitar lahan yang rawan terbakar. Adapun upaya pencegahan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah di daerah rawan terbakar juga mesti ditingkatkan.
“Perlu dicek juga dari 400 korporasi perkebunan, apakah semuanya memiliki peralatan untuk mencegah kebakaran. Perlu transparansi terhadap wilayah konsesi, termasuk jika terdapat titik api,” kata Nikodemus.
Nikodemus menilai, tahun lalu, langkah penanganan kebakaran di lahan gambut termasuk area korporasi terbilang lamban. “Apakah belum ada timnya? Ataukah faktor anggaran atau faktor apa. Itu harus dibenahi,” paparnya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar Adi Yani, menuturkan, pihaknya telah meminta setiap instansi terkait mendata kepemilikan lahan. Selama ini, peta daerah rawan kebakaran baru bersifat umum, tetapi belum diketahui pasti pemilik dan keterangan rinciannya.
Hal ini perlu segera diantisipasi. Terlebih pada 2020, lanjut Yani, kemungkinan rentang waktu musim panas diprediksi lebih panjang. Selain itu, data terkait waktu rawan terbakar hendaknya lebih konkret sehingga upaya antisipasi pun lebih tepat.
“Untuk lahan yang telah terbakar pada 2019, jika terjadi di lahan korporasi harus dikonservasi baik di lahan mineral maupun di gambut. Demikian juga untuk konsesi di kawasan hutan,” kata Yani.
Proses restorasi gambut pun terus dilakukan beberapa tahun terakhir. BRG menargetkan restorasi lahan gambut di Kalbar seluas 149.000 hektar pada periode 2016-2020. Dari target itu, jika dipetakan, 95.000 ha merupakan kawasan budidaya berizin, budi daya tidak berizin (27.000 hektar), dan kawasan lindung (26.000 hektar).
Catatan Kompas, hasil data analisis spasial di area target restorasi memang ada yang terkena dampak kebakaran lahan. Di Kalbar, luasan gambut yang terbakar di wilayah restorasi kawasan budidaya berizin maupun tak berizin jika ditotal mencapai 5.033 ha. Dari luasan tersebut, kebakaran di area nonkonsesi 3.119 ha, sedangkan di lahan konsesi seluas 1.900 hektar.
Area restorasi terbakar karena penyebab yang kompleks. Idealnya, restorasi dilakukan secara keseluruhan di kawasan hidrologis gambut (KHG). Namun, di lapangan, KGH sudah terpecah-pecah, misalnya menjadi konsesi dan area penggunaan lain. BRG hanya meletakkan infrastruktur di lahan yang terbakar pada 2015 sesuai mandat. Hal itu diakui belum menjangkau bentang alam KHG secara keseluruhan.