Rindu Sapur pada Keluarga di Murung Raya Masih Harus Diredam
Ditangkap 18 September 2019 pukul 15.00 WIB, saat itu Sapur berada di kebunnya. Ia satu-satunya terdakwa kebakaran lahan di Kabupaten Murung Raya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Saprudin alias Sapur (61) turun dari mobil tahanan kejaksaan. Belum menginjak tanah, badannya ditangkap anak kelimanya, Rosi (23). Sapur yang ada gangguan penglihatan, lalu meraba dan menyebut nama anaknya yang menangis. Ia didakwa membakar lahan.
Senin (13/1/2020) siang, Sapur, warga Juking Pajang, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, itu datang dikawal petugas kejaksaan di PN Muara Teweh, 178 kilometer dari kampungnya. Ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Muara Teweh.
Siang itu, enam anaknya langsung memeluk dan mencium tangan bapaknya. Satu anaknya tak bisa datang, menjaga ibunya yang susah jalan.
Siang itu, Sapur diberi kesempatan bersua keluarga. Mereka mengobrol dan makan siang bersama.
"Pak, saya ini hanya merangai (bakar sampah). Saya lagi bikin pagar, lalu buat api unggun kecil".
Tangan Sapur bergetar saat menyendok nasi. Anaknya membantu. Ia makan begitu lahap, sambil mengusap air mata yang terus mengalir.
Datang pukul 13.00, sidang dimulai pukul 16.00. Sidang dipimpin Hakim Ketua Cipto Nababan. Sidang keenam itu mendengar saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Liberty Purba. Sapur didampingi kuasa hukum Ditta Wisnu dari Jakarta dan Nashir Hayatul Islam dari Palangkaraya.
Belasan keluarga Sapur datang menghadiri sidang tersebut. Sapur dituntun dua petugas kejaksaan. Hakim berbicara keras, karena terdakwa juga mengalami gangguan pendengaran.
Saksi ahli dari Dinas Lingkungan Hidup Murung Raya Toni Patri Jani membeberkan keterangan berdasar berita acara pemeriksaan dan menjawab pertanyaan JPU, pengacara terdakwa, dan hakim. Kepala Seksi Penyelesaian Sengketa dan Penegakan Hukum DLH Murung Raya itu menjelaskan larangan bakar.
“Bagaimana, Pak Sapur, terkait keterangan ahli ini. Ada tanggapan?” kata hakim.
Sapur tak menjawab. Ditta membantu berbisik. Namun, Sapur kelihatan kebingungan.
“Pak, ada tanggapan, tidak?” Kali ini suara hakim cukup keras. Sapur yang berjarak dua meter dari hakim ketua langsung menoleh ke arah suara.
Ia menjawab, “Pak saya ini hanya merangai (bakar sampah). Saya lagi bikin pagar, lalu buat api unggun kecil”.
Sekecil apapun lahan tidak boleh dibakar, karena bisa memicu kebakaran lebih besar.
Tak puas atas tanggapan Sapur, hakim ketua menjelaskan isi keterangan saksi ahli. Bahwa periode Juni-November masyarakat dilarang membuka lahan dengan membakar sesuai Surat Keputusan Bupati Murung Raya dan Surat Keputusan Gubernur Kalteng.
Toni, dalam persidangan mengungkapkan, sekecil apapun lahan tidak boleh dibakar karena bisa memicu kebakaran lebih besar. “Kami sudah sosialisasi soal itu,” kata dia.
Di satu sisi, kata Toni, dalam kondisi normal masyarakat boleh membakar sesuai UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga Peraturan Menteri LHK Nomor 10 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Pernyataan itu membingungkan hakim. Ditanya lebih lanjut, saksi ahli tak pernah ikut seminar atau pelatihan terkait lingkungan. Ia baru menjabat dan berdinas di DLH Murung Raya tahun 2019. Periode 2009-2017, ia bagian keuangan di Dinas Kehutanan.
Penangkapan
Ditangkap 18 September 2019 pukul 15.00 WIB, saat itu Sapur di kebun. “Kalau saya tidak ke sana, monyet dan sapi habiskan jagung saya. Saya hanya mau bikin pagar,” kata dia.
Ia berangkat dari rumah pukul 08.00, dituntun anaknya keenam, Bendi (22). Dengan sabut kelapa yang sudah dilumuri minyak tanah, ia bakar dahan-dahan kayu. Itu disebut merangai dalam bahasa Dayak Ngaju. Tujuannya mengusir nyamuk.
Sejak itu, Sapur diperiksa dan ditahan. Dalam sidang pertama, ia disebut membakar lahan dua hektar. Padahal, luas lahannya sesuai surat keterangan tanag (SKT) yang dimilikinya hanya seluas 50x70 meter.
“Saya menangis sambil sujud berdoa saja. Semoga Allah tunjukkan jalan,” kata Sapur.
Ia memang membakar lahan untuk menanam jagung pada 17 Agustus 2019. Namun, itu atas ijin kepala desa, RT, dan mantir adat atau tetua adat desa. Ia dapat surat keterangan membakar lahan dari kades.
Data Polda Kalteng, ada 161 kasus perorangan dan 20 kasus korporasi terkait karhutla 2019. Dari 161 kasus itu 121 tersangka dengan luas kebakaran 298,97 ha. Dari 20 kasus korporasi, baru dua perusahaan jadi tersangka kebakaran 468,5 ha.
Dari data itu, ada 40 kejadian karhutla di Murung Raya seluas 66,57 ha. Sapur satu-satunya terdakwa. Kini, kakek enam cucu itu hanya ingin segera pulang ke rumah.