Dua pulau di Sumatera Selatan terancam hilang, tenggelam akibat dampak pemanasan global. Empat pulau lain juga terancam mengalami hal serupa jika penyulut pemanasan global, salah satunya kebakaran lahan, tidak berhenti.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS--Dua pulau di Sumatera Selatan terancam hilang, tenggelam akibat dampak pemanasan global. Empat pulau lain juga terancam mengalami nasib serupa apabila penyulut pemanasan global, salah satunya kebakaran lahan, tidak dihentikan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri, dalam Paparan Tinjauan Lingkungan Hidup Sumatera Selatan di Palembang, Senin (14/1/2020) mengatakan berdasarkan penelitian Walhi, dari 23 pulau di Sumsel ada dua pulau yang sudah tenggelam yakni Pulau Gundul yang memiliki ketinggian 3 meter di bawah permukaan laut dan Pulau Betet yang hanya memiliki ketinggian 1 meter di bawah permukaan laut. Keduanya berada di Kabupaten Banyuasin, berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Api-Api.
Tenggelamnya pulau tersebut tidak permanen. Pada musim kemarau di tahun 2019, kedua pulau itu sempat muncul. Namun jangka waktu kemunculan pulau terus berkurang.
Di tahun 2018, kedua pulau itu muncul dalam waktu enam bulan. Namun di tahun 2019, pulau itu hanya muncul dalam waktu 4 bulan yakni selama musim kemarau. Kalau perubahan iklim terus berlangsung, bukan tidak mungkin kedua pulau ini hilang secara permanen pada 2020.
Dalam kesehariannya, pulau ini tidak dihuni oleh manusia tetapi menjadi habitat dari babi hutan dan monyet. Pulau ini juga ditumbuhi oleh tanaman bakau yang menjadi tanaman khas di pesisir.
Jika kondisi ini terus berlangsung maka akan ada empat pulau lagi di Kabupaten Banyuasin yang akan tenggelam di tahun 2020.
Jika kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan ada empat pulau lagi di Kabupaten Banyuasin yang akan tenggelam di tahun 2020. Pulau itu adalah Pulau Burung, Pulau Kalong, Pulau Salahnamo, dan Pulau Keramat. Keempat pulau ini memiliki ketinggian 0-3 meter di atas permukaan laut. Pemanasan global telah menyebabkan kenaikan permukaan laut.
Pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan. Pembakaran telah meningkatkan suhu udara akibat pelepasan emisi. Namun yang menjadi penyebab terbesar pelepasan emisi di Sumsel adalah kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan kerusakan gambut. Padahal gambut memiliki peran penting untuk menyimpan karbon.
Akibat perubahan iklim, suhu tertinggi pada tahun 2019 di Sumsel mencapai 37 derajat celsius, naik 0,39 derajat celsius dalam dua tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Lembaga Transformasi untuk Keadilan Indonesia Edi Sutrisno, mengatakan ada 10 lembaga keuangan yang memberikan kredit bagi perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan untuk memperluas perkebunannya. Mereka berasal dari Jepang, Malaysia, Tiongkok, Singapura dan sisanya plat merah Indonesia.
Menurut Edi perlu ada ketegasan dari pemerintah dan lembaga keuangan untuk menyetop aliran dana bagi perusahaan yang lahannya terbakar. "Apabila tidak ada sokongan dana maka perusahaan tersebut tidak berani mengembangkan usahanya," kata Edi. Sejauh ini ada 17 grup perusahaan yang lahannya terbakar.
Terpisah, Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori menuturkan total kebakaran lahan di Sumsel mencapai 428.356 hektar dengan jumlah titik panas mencapai 3.434 titik. Dari jumlah tersebut, sekitar 254.164 hektar adalah lahan gambut.
Dari jumlah tersebut sekitar 219.546 hektar atau 51,36 persen berada di kawasan hutan. Adapun untuk area penggunaan lain (APL) luas lahan yang terbakar sekitar 207.931 hektar atau 48,64 persen. Sementara untuk kawasan yang terbakar didominasi kawasan perkebunan dengan jumlah 160.049 hektar atau 37,36 persen dari luasan lahan terbakar.