Tingkatkan Anggaran Kesehatan Menuju Daerah Layak Anak
Kabupaten Sintang, Melawi, dan Sekadau di Kalimantan Barat, berkomitmen menjadi kabupaten layak anak. Komitmen itu diwujudkan dalam peningkatan alokasi anggaran kesehatan beberapa tahun terakhir.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Kabupaten Sintang, Melawi, dan Sekadau di Kalimantan Barat, berkomitmen menjadi kabupaten layak anak. Komitmen itu diwujudkan dalam peningkatan alokasi anggaran kesehatan beberapa tahun terakhir.
Mengacu peraturan pemerintah pusat, alokasi anggaran kesehatan dan kesejahteraan minimal 10 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kabupaten Sintang, pada 2016 mengalokasikan anggaran kesehatan Rp 174 miliar atau baru 9,51 persen dari total APBD, tetapi pada 2019 sudah mencapai Rp 307 miliar atau 15,84 persen dari total APBD.
Alokasi untuk kesehatan di Melawi pada 2016 sebesar Rp 121 miliar atau 10,91 persen dari total APBD. Pada 2019 meningkat menjadi Rp 157 miliar atau 13,44 persen dari total APBD. Kemudian, Sekadau pada 2016 sebesar Rp 58 miliar atau 7,07 persen dari total APBD meningkat menjadi Rp 70 miliar atau 8,14 persen pada 2019.
Peningkatan alokasi anggaran digunakan untuk pembangunan dan renovasi fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Posyandu. Selain itu dipergunakan pula sebagai biaya operasional Puskesmas.
Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia (WVI) Doseba T Sinay, dalam acara “Diseminasi dan Penutupan Proyek UE dan CSO Empowerment” di Pontianak, Selasa (14/1/2020), menuturkan, empat tahun terakhir World Vision Jerman dan Wahana Visi Indonsia (WVI) bersama Uni Eropa (UE) telah membantu masyarakat di 50 desa, 10 kecamatan di tiga kabupaten tersebut melalui program penguatan peran komunitas desa dan organisasi masyarakat sipil. Program itu telah membawa perubahan positif. WVI adalah yayasan sosial kemanusiaan yang bekerja untuk kesejahteraan anak.
“Tujuan proyek ini meningkatkan anggaran kesehatan sebagai upaya mendukung pemenuhan layanan kesehatan dasar untuk kabupaten dan kota layak anak. Tiga kabupaten tersebut didorong menjadi kabupaten layak anak,” ujarnya.
Ada tiga mitra utama dalam menjalankan program tersebut, yakni Koalisi Peduli Anak Sintang, Koalisi Masyarakat Peduli Anak Sekadau, dan Koalisi Masyarakat Peduli Anak Melawi. Selain itu, mereka juga memperkuat forum anak di tiga kabupaten tersebut.
“Fokusnya bagaimana meningkatkan keterampilan anak-anak dalam berdiskusi dan mengadvokasi. Anak-anak diberikan ruang untuk mampu berkomunikasi dan memberikan masukan yang positif bagi pembangunan di wilayah mereka masing-masing,” paparnya.
Sedikitnya 174 orang dilatih menjadi fasilitator yang memahami siklus proses penguatan suara dan aksi masyarakat. Para fasilitator inilah nanti yang akan memonitor program-program dilaksanakan secara berkelanjutan.
Selain mendorong peningkatan anggaran, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil juga berhasil merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan beberapa peraturan daerah. Peraturan itu, misalnya Peraturan Kabupaten Melawi No 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak. Kemudian, Pembaruan Surat Keputusan Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak di Sintang, Melawi, dan Sekadau.
Selain itu, ada peraturan Kabupaten Sintang No 12 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Pengan dan Gizi. Terakhir, Penyusunan Rencana Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Kabupaten Layak Anak dan Rencana Aksi 2018-2021 di Sintang, Sekadau, dan Melawi.
Kepala Kerja sama Delegasi UE untuk Indonsia dan Brunei Darussalam Hans Farnhammer, menuturkan, tahun 2019 menandai 30 tahun konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak anak. Konvensi yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 1989 tersebut sepakat melindungi hak-hak anak dari diskriminasi, kekerasan, dan ketelantaran.
Jutaan anak, saat ini masih menghadapi tantangan dalam mencapai atau mendapatkan hak mereka terhadap pelayanan mendasar termasuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan dari kekerasan.
Menurut laporan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), tercatat 4,4 juta anak dan remaja usia 7 tahun hingga 18 tahun di Indonesia belum mendapatkan pendidikan. Adapun satu dari 30 anak meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Kondisi ini terutama terjadi di wilayah Indonesia timur.
Kekerasan terhadap anak juga masih ditemukan di rumah dan sekolah. Pernikahan anak usia dini, selain melanggar hak anak, juga menciptakan siklus kemiskinan. Sebab, anak-anak perempuan tidak mendapatkan pendidikan dan kemampuan menciptakan kehidupan yang layak. Hal ini akan merugikan masyarakat.
Dalam konsep kota layak anak, pemerintah daerah diberikan mandat dan tanggung jawab mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan lokal terhadap perlindungan hak anak. UE mendukung negara partner menciptakan sistem perlindungan anak yang komprehensif untuk merespons eksploitasi dan penelantaran anak.
Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan, menuturkan, komitmen terhadap kesehatan sudah dilakukan melalui anggaran kesehatan tahun 2019 sekitar Rp 300 miliar atau 10,36 persen dari total APBD Kalbar. Pembangunan kesehatan akan berdampak optimal jika dilaksanakan bersama. Untuk daerah yang sudah dibina akan dilanjutkan melalui dinas terkait dan pemerintah kabupaten.