Angka Kemiskinan Menurun, Keparahan Kemiskinan Naik di NTB
Angka kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan Nusa Tenggara Barat menurun, namun tingkat keparahan kemiskinan naik dalam rentang waktu Maret 2019-September 2019.
Oleh
KAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS-Angka kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan Nusa Tenggara Barat menurun, namun tingkat keparahan kemiskinan naik dalam rentang waktu Maret 2019-September 2019. Oleh karena itu intervensi Pemprov NTB dalam penanggulangan kemiskinan perlu disempurnakan agar menyentuh langsung masyarakat miskin.
Suntono, Kepala Badan Pusat Statistik NTB, mengatakan angka kemiskinan di NTB menurun 0,68 persen (30.280) dari 735.960 pada Maret 2019 (14,58 persen) menjadi 705.680 (13,88 persen) pada September 2019. Hal itu ia ungkapkan dalam acara release tentang profil kemiskinan NTB September 2019 di Mataram, Lombok, Rabu (15/1/2020) .
“Kami tidak memiliki program penanggulangan kemiskinan, namun dari data-data itu program intervensi kemiskinan kepada masyarakat yang sudah baik selama ini, perlu disempurnakan menjadi lebih baik,” ujar Suntono.
Menurut Suntono, penurunan kemiskinan itu dipengaruhi sejumlah faktor di antaranya deflasi yang disumbangkan oleh harga beras. “Inflasi NTB Desember 2019 sebesar 1,8 persen, sedang inflasi nasional 2,5 persen. Inflasi NTB 1,8 persen itu terendah dalam 10 tahun terakhir dalam catatan BPS,” ujar Suntono.
Selain itu, nilai tukar petani (NTP) di NTB mencapai 110,9 persen pada Januari-Desember 2018, naik 4,3 persen menjadi 115,2 persen pada Januari-Desember 2019. Ini berarti daya beli petani meningkat dan mendorong pengeluaran konusumsi rumah tangga petani yang sekaligus menyumbang penurunan angka kemiskinan di provinsi itu.
Menurut Suntono kedalaman dan keparahan kemiskinan perlu diperhatikan selain kuantitas jumlah warga miskin. Indeks kedalaman kemiskinan NTB Maret 2019 turun dari 2,327 persen Maret 2019 menjadi 2,119 persen September 2019. Namun angka keparahan kemiskinan dalam periode sama naik dari 0,478 menjadi 0,519. Ini berarti ketimpangan antara penduduk miskin semakin melebar.
Salah satu warga miskin Mas’ud (60) yang tinggal di lingkungan Oloh, Kelurahan Monjok Barat, Kota Mataram, mengaku kini hanya berharap kebutuhan makan-minum dari bantuan anak-anaknya. Ia bekerja serabutan di antaranya mengumpulkan sampah plastik dan kertas. Sampah botol air mineral berbagai ukuran dan limbah kertas dijual ke penampung seharga Rp 2.000 per kilogram/kg.
Mas’ud juga berjualan keliling mainan anak-anak seperti permainan Ular Tangga seharga Rp 15.000 per set dari harga pembelian Rp 10.000. Dua bulan terakhir Mas’ud menderita sakit, dan tidak bisa bekerja, sehingga untuk keperluan makan-minum dibantu oleh tiga anaknya.
Sementara dalam berbagai kesempatan Wakil Gubernur/Wagub NTB, Sitti Rohmi Djalilah, mengingatkan, NTB sebagai salah satu daerah yang memiliki kinerja dalam penurunan angka, kedalamam dan keparahan kemiskinan secara progresif, namun pencapaian itu tidak membuat lalai untuk mengevaluasi dan mengoreksi program penanggulangan kemiskinan.
“NTB punya PR (Pekerjaan Rumah) yang harus dijawab dengan program-program intervensi yang nyata, menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat miskin,” ujar Wagub NTB. ‘PR’ itu antara lain soal basis data penduduk miskin yang belum akurat, karena diketahui dalam program bantuan beras bagi keluarga miskin (Raskin), masih banyak keluarga miskin yang tidak mendapatkannya, bahkan Raskin itu ‘nyasar’ kepada keluarga yang dikategorikan tidak miskin.
NTB punya PR (Pekerjaan Rumah) yang harus dijawab dengan program-program intervensi yang nyata, menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat miskin
Di pihak lain jajaran Pemrpov NTB harus berusaha mengubah pola pikir masyarakat miskin, dari selalu mengharapkan fasilitis dan bantuan untuk pengentasan kemiskinan, menjadi tidak lagi mau menerima bantuan kemiskinan bila kondisi sosial ekonominya lebih sejahtera.
“Pola pikir yang berorientasi mendapat fasilitas seperti ini harus diubah, yaitu bagaimana cara membangkitkan semangat untuk mandiri dan keluar dari kemiskinan,” ujar Wagub dalam acara Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang diikuti 10 bupati-wali kota se-NTB, Kamis (28/11/2019) di Hotel Lombok Raya, Mataram, Lombok.
Banyak contoh warga desa yang dikatakan berpenghasilan sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun justru bisa menunaikan haji dan umroh dengan menyisihkan penghasilannya selama bertahun-tahun. Contohnya Rahman (55), warga Dusun Jelateng, Desa Jelateng, Kecamatan Lembar, Lombok Barat, yang bekerja sebagai tukang pembangunan rumah.
Menurut Rahman yang ditemui di Kantor Imigrasi Mataram, Rabu (15/1/2020) di Mataram, sedang mengurus paspor. Rencananya April mendatang Rahman menunaikan ibadah umrom, melalui jasa perusahaan haji dan umroh di Mataram. “Kalau naik haji kan lama antrinya. Tetapi mudah-mudahan, atas izin Allah, setelah umroh saya bisa menunaikan haji,” katanya.
Rahman mengambil paket perjalanan 15 hari (di Madinah dan Mekkah) dengan biaya Rp 32 juta. Uang itu disisihkan dan disimpan dari upah sebagai buruh bangunan rata-rata Rp 50.000-Rp 200.000 selama tiga tahun. “Sudah bulat niat saya untuk menyisihkan upah memburuh. Ternyata Allah mengabukan niat saya,” tuturnya.