Meski jumlah penduduk miskin berkurang, angka indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di Sulawesi Tenggara bertambah, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Meski jumlah penduduk miskin berkurang, angka indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di Sulawesi Tenggara bertambah, baik di perkotaan maupun pedesaan. Di sisi lain, indeks nilai tukar petani juga rendah dalam beberapa tahun terakhir. Perhatian pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan mesti ditingkatkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Rabu (15/1/2020), menunjukkan, penduduk miskin Sultra pada September 2019 sejumlah 299.970 orang atau sebanyak 11,04 persen. Angka ini turun sebanyak 2.610 orang dibandingkan Maret 2019 yang jumlahnya 302,580 orang atau 11,24 persen.
Meski demikian, angka indeks kedalaman kemiskinan terus bertambah. Pada September 2018, indeks kedalaman kemiskinan di Sultra pada angka 2,093, lalu berubah menjadi 2,230 Maret 2019, dan terakhir 2,231 pada September 2019.
Kalau dilihat per wilayahnya, angka kedalaman kemiskinan wilayah desa lebih tinggi dibanding wilayah perkotaan.
“Ada kenaikan sedikit antara Maret 2019 dan September 2019. Kalau dilihat per wilayahnya, angka kedalaman kemiskinan wilayah desa lebih tinggi dibanding wilayah perkotaan. Tapi, kalau dilihat per wilayah, di pedesaan dari Maret ke September ada penurunan sedikit,” ucap Kepala BPS Sulawesi Tenggara, Edy Mahmud.
Indeks kedalaman kemiskinan mengukur angka pengeluaraan rata-rata penduduk miskin di sebuah wilayah. Semakin tinggi indeks, semakin parah kemiskinan yang dialami warga miskin tersebut.
Sementara itu, angka indeks keparahan kemiskinan juga tidak terlalu berbeda dengan kondisi sebelumnya. Pada September 2018, keparahan kemiskinan sebesar 0,548, lalu meningkat menjadi 0,585 pada Maret 2019, dan pada September 2019 menjadi 0,594.
Angka indeks keparahan kemiskinan di desa pada September 2018 sebesar 0,718, turun dibanding periode Maret 2019 yang sebesar 0,741. Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding di daerah perkotaan, yaitu 0,403 pada September 2019.
Edy melanjutkan, dari data tersebut, penduduk miskin lebih banyak terkonsentrasi di wilayah pedesaan dibanding perkotaan. Pola komsumsi masyarakat di dua wilayah ini juga berbeda.
Di satu sisi, angka ketimpangan atau gini ratio di Sultra yang sebesar 0,393 pada September 2019, sedikit berkurang jika dibandingkan dengan Maret 2019 yang sebesar 0,399. Namun, angka tersebut bertambah jika dibandingkan dengan data September 2018 yang berada di angka 0,392.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsul Anam menjelaskan, bertambahnya angka kedalaman dan keparahan kemiskinan menunjukkan, warga miskin yang semakin miskin dan jauh dari pengeluaran rata-rata per bulannya.
Hal ini penting untuk dilihat dan diintervensi pemerintah karena warga semakin terpuruk dalam jeratan kemiskinan. Pemerintah sebaiknya menjaga harga bahan pokok agar tidak mengalami lonjakan dan membuat kehidupan masyarakat semakin sulit.
Selain itu, Syamsul menambahkan, angka penduduk miskin yang juga terkonsentrasi di desa menunjukkan belum adanya program yang bisa membuat masyarakat terbantu secara ekonomi. Warga di pedesaan yang mendominasi sektor pertanian, perkebunan, hingga perikanan, sebagian besar masuk dalam kategori masyarakat miskin.
“Kajian kami menunjukkan, nilai tukar petani selama beberapa tahun juga di bawah apa yang dikeluarkan. Artinya, para petani kita itu mengeluarkan jauh lebih banyak dalam setahun dibanding apa yang diterima,” ungkap Syamsul.
Selama 2015 hingga 2017, nilai tukar petani tidak pernah berada di atas angka rata-rata pengeluaran dan penerimaan. Indeks bayar petani selama tiga tahun berturut-turut yaitu 121,03; 124,85; dan 128,56. Sementara itu, indeks terima petani hanya 115,48; 114,55; dan 117,23.
“Artinya, memang perlu program yang terstruktur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di perkotaan, dan lebih khusus lagi di pedesaan. Dengan demikian, angka kemiskinan, hingga kedalaman dan keparahan kemiskinan bisa berkurang dan masyarakat semakin sejahtera,” tutur Syamsul.