Aktivitas ”Raja” Keraton Agung Sejagat di Sleman Sudah Dicurigai
Aktivitas Toto Santosa yang mengaku sebagai Raja Keraton Agung Sejagat di rumah kontrakannya di Desa Sidoluhur, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, sejak awal sudah dicurigai. Setiap aktivitasnya tanpa surat legalitas.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Toto Santosa Hadiningrat, yang mengaku sebagai Raja Keraton Agung Sejagat, hanya tinggal mengontrak di Desa Sidoluhur, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 2018. Awalnya, ia masuk ke desa itu ingin mendirikan koperasi dan organisasi masyarakat yang tidak jelas legalitasnya. Pemerintah desa sudah curiga sejak awal.
”Mereka awalnya kami panggil ke kantor desa ini Mei 2017. Saat itu, bilangnya mau bikin koperasi. Dia datang bertujuh dengan pengurusnya. Pak Totok itu pimpinannya,” kata Kepala Seksi Pemerintahan Desa Sidoluhur Adi Arya Pradana, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (15/1/2020).
Koperasi itu bernama Koperasi Jasa Indo KOR Rakyat, yang disingkat menjadi KJ INKOR. Toto menjabat sebagai pembina di koperasi tersebut, sedangkan Fanni Aminadia, yang disebut sebagai ”permaisuri”, merupakan ketua dari koperasi itu. Menurut informasi yang diperoleh Adi, koperasi itu, menurut rencana, akan bergerak di bidang pupuk.
Namun, pihak Pemerintah Desa Sidoluhur menolaknya mentah-mentah. Alasannya adalah tidak ada surat yang menunjukkan legalitas koperasi itu secara jelas. Saat itu, juga tengah marak Jogja Development Committee (Jogja Dec), modus penipuan yang mengiming-imingi pengikutnya kesejahteraan finansial. Kasus itu disangkutpautkan dengan Toto.
”Kami curiganya membawa Jogja Dec. Ini kita tolak karena legalitasnya tidak sesuai. Tapi, mereka terus berkamuflase dan mencoba,” kata Adi.
Adi menambahkan, Maret 2019, Toto berusaha masuk kembali ke desa itu dengan kedok organisasi masyarakat. Mereka mengundang pemerintah desa untuk sosialisasi. Pemerintah desa menolaknya karena lagi-lagi surat legalitas yang dibawa organisasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
”Kemudian, mereka beralih dengan membuka angkringan. Kami sudah mencoba memanggil karena ada warga yang menolak juga. Tetapi, tidak terjadi komunikasi karena mereka tetap ingin membuka. Di situ juga sudah ada kegiatan pembangunan,” kata Adi.
Adi mengatakan, aktivitas yang berlangsung di angkringan tersebut hanya terjadi malam hari. Orang-orang yang beraktivitas di sana sebagian besar merupakan warga dari luar desa itu. Tidak diketahui apa saja yang dilakukan mereka di dalam angkringan itu.
Selain itu, Oktober lalu, Adi menyampaikan, terdapat laporan masyarakat bahwa berlangsung semacam upacara di angkringan itu. Peserta upacaranya mengenakan pakaian-pakaian adat Jawa. Ada sejumlah orang menggunakan kamera profesional lengkap dengan penerangannya.
”Alasannya untuk shooting film kolosal Jawa. Katanya menyesuaikan zaman Majapahit. Di situ, ada lampu-lampu, kamera, banyak sekali. Itu dilakukan malam hari. Katanya, itu untuk konten Youtube-nya Bu Fanni,” kata Adi.
Kemudian, Adi mengungkapkan, ada beberapa warganya yang diajak bergabung dengan aktivitas yang dilakukan Toto dan kelompoknya. Jumalahnya tidak lebih dari 10 orang. Mereka berasal dari sejumlah dusun di desa itu. Mereka dimintai uang pendaftaran mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta.
”Ya, dijanjikan jabatan. Di situ, kan, ada rajanya lalu ada bawahan-bawahannya. Mereka dijanjikan satu bulan bisa dapat sampai dengan Rp 30 juta. Tapi, warga yang bergabung itu sangat tertutup kalau kami tanyai soal ini,” kata Adi.