Gelombang tinggi dan angin kencang yang kerap melanda perairan Lampung membuat nelayan takut melaut. Akibatnya, mereka urung menikmati musim panen tongkol yang sedianya diandalkan meningkatkan pendapatan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Gelombang tinggi dan angin kencang yang belakangan kerap melanda perairan Lampung membuat nelayan enggan melaut. Akibatnya, mereka urung menikmati musim panen tongkol yang sedianya diandalkan untuk meningkatkan pendapatan.
Dari pantauan Kamis (16/1/2020), nelayan di sekitar pesisir Bandar Lampung, Provinsi Lampung, memilih berlindung di perkampungan nelayan terdekat. Aktivitas pelelangan ikan, seperti di Pasar Gudang Lelang, Kecamatan Bumi Waras, Bandar Lampung, juga sepi. Tidak ada nelayan yang mendaratkan ikan seperti biasanya.
Rahmadi (48), salah seorang nelayan, mengatakan, kondisi cuaca semakin tak bisa diprediksi. Hujan angin bisa datang sewaktu-waktu. ”Nelayan melaut kalau tidak hujan. Kami juga memilih berlayar tak jauh dari pantai agar tak terempas ombak,” ujar Rahmadi saat ditemui di kawasan pelelangan ikan.
Padahal, saat ini, di perairan Lampung masih musim panen ikan tongkol. Namun, nelayan tidak bisa menikmatinya karena terkendala cuaca. Harga ikan tongkol yang biasanya murah saat musim panen seperti sekarang ini pun tetap tinggi.
”Harga ikan tongkol saat ini Rp 25.000 per kilogram. Kalau stok melimpah, harganya biasanya hanya Rp 15.000,” ujar Anto (30), salah seorang pedagang ikan.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Bandar Lampung Masirin mengatakan, nelayan berperahu kecil atau kurang dari 10 gros ton kini bertahan di sekitar pantai. Kapal besar yang biasanya berlayar hingga perairan barat Lampung hanya dipakai untuk berlayar di sekitar Pulau Legundi. Nelayan juga enggan melaut karena ikan sulit didapatkan.
Umumnya nelayan setempat melaut selama 3-4 hari. Saat cuaca buruk, waktu yang dibutuhkan untuk melaut bisa lebih panjang, mencapai 6-7 hari. ”Walaupun tetap bekerja, nelayan banyak nganggur di tengah laut. Mereka tidak bisa menebar dan menarik jaring karena ombak tinggi,” katanya.
Selain terkendala cuaca, aktivitas pelelangan juga terhenti karena nelayan kesulitan mendapatkan pasokan es batu. ”Stok es hari ini kosong sehingga tidak ada nelayan yang membongkar ikan karena takut membusuk. Pembeli juga sedikit karena tangkapan ikan berkurang,” ungkap Masirin.
Meski begitu, dia belum mengetahui secara pasti penyebab stok es batu kosong. ”Kami baru mau mencari tahu apakah mesin es di pabrik yang biasa memasok es rusak sehingga stok kosong,” katanya.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Maritim Lampung, gelombang tinggi berpotensi terjadi di Selat Sunda bagian selatan, perairan barat Lampung, Teluk Lampung bagian selatan, dan Samudra Hindia barat Lampung.
Gelombang paling tinggi terpantau di perairan barat Lampung, Samudra Hindia barat Lampung, dan Selat Sunda bagian selatan. Di kawasan itu, gelombang laut dapat setinggi 2,5 meter dengan kecepatan angin mencapai 15 knot atau 27 kilometer per jam.
”Adanya konvergensi di wilayah Lampung juga memicu peningkatan hujan di perairan Lampung,” ujar petugas prakirawan BMKG Maritim Lampung, Achmad R Pahlevi.