Proyek Rumah Bersubsidi Mandek, Pengembang Ancam Pemkab Cirebon
Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon berencana menggugat Pemerintah Kabupaten Cirebon atas mandeknya pembangunan ribuan rumah bersubsidi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon berencana menggugat Pemerintah Kabupaten Cirebon atas mandeknya pembangunan ribuan rumah bersubsidi. Proyek tersebut dinilai tidak sesuai tata ruang meskipun telah mengantongi sejumlah izin.
“Kami sedang pertimbangkan gugatan class action ke pemda,” kata Ketua Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon (FKPPC) Yudho Arlianto, kepada awak media di Cirebon, Jawa Barat, Kamis (16/1/2020). Langkah tersebut dilakukan jika tidak ada titik temu antara pengembang dengan Pemkab Cirebon terkait pembangunan rumah bersubsidi.
Kami sedang pertimbangkan gugatan class action ke pemda (Yudho Arlianto)
Menurut Yudho, saat ini sekitar 4.000 unit rumah bersubsidi terancam tidak dibangun karena pertimbangan teknis (Pertek) pertanahannya ditolak oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Cirebon. Pertimbangan itu sebagai syarat mendapatkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
Jumlah rumah yang pembangunannya mandek bisa bertambah karena sejumlah pengembang belum menerima Pertek dari BPN. Real Estate Indonesia Wilayah III Cirebon bahkan memperkirakan sekitar 12.000 rumah bersubsidi di Cirebon terancam tidak dibangun karena masalah serupa.
Padahal, lanjut Yudho, sekitar 21 pengembang yang tergabung dalam FKPPC telah mengurus berbagai perizinan selama enam bulan hingga 14 bulan. Pengembang pun sudah mengantongi fatwa lokasi, hingga izin mendirikan bangunan dari pemkab. Namun, SGHB belum terbit.
Pihaknya juga menampik klaim BPN Kabupaten Cirebon bahwa pengembang melanggar Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon 2018 – 2038.
BPN Kabupaten Cirebon sebelumnya menolak areal seluas 481.044 meter persegi yang akan dijadikan perumahan bersubsidi karena tidak sesuai tata ruang. Lokasi tersebut tumpang tindih dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilarang beralih fungsi.
“Padahal, kami sudah memiliki rekomendasi alih fungsi lahan dari dinas pertanian. Peta BPN juga tidak sesuai lapangan,” katanya. Di Pasaleman, misalnya, lokasi perumahan disebut kawasan perkebunan, perikanan budi daya air tawar, dan sempadan sungai. Padahal, tidak tampak sungai di dekat perumahan.
Akibat masalah ini, lanjutnya, pengembang berpotensi rugi sedikitnya Rp 2,5 miliar untuk satu hektar lahan. Adapun total lahan yang akan digunakan, katanya, berkisar 22 hektar. Itu sebabnya, pihaknya berencana menggugat Pemkab Cirebon karena belum bisa memberikan jaminan investasi kepada pengembang. “Kami beri waktu sampai akhir Januari (untuk mencari solusinya),” lanjutnya.
Pengembang juga telah mengirim surat kepada DPRD Kabupaten Cirebon pada 10 Januari lalu untuk memediasi pertemuan dengan BPN dan Pemkab Cirebon. Namun, hingga kini belum ada balasan.
Tidak melanggar RTRW
Secara terpisah, Bupati Cirebon Imron Rosyadi memastikan pihaknya tidak melanggar RTRW. “Saya tidak tahu, kenapa penafsiran BPN Kabupaten Cirebon beda. Padahal, dasarnya sama, RTRW. Ini bukan kemauan kami kalau investasi mandek,” ungkapnya.
Kepala BPN Kabupaten Cirebon Lutfi Zakaria menegaskan, lokasi perumahan yang melanggar tata ruang sudah sesuai pencocokan titik koordinat yang diajukan pengembang dengan peta RTRW. Namun, lanjutnya, solusi masalah tersebut ada di tangan pemerintah daerah.
Saya tidak tahu, kenapa penafsiran BPN Kabupaten Cirebon beda. Padahal, dasarnya sama, RTRW. Ini bukan kemauan kami kalau investasi mandek (Imron Rosyadi)
Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 22/2019 tentang Percepatan Perizinan Pemanfaatan Ruang. “Apabila RTRW belum mengakomodasi kebutuhan penanaman modal, bupati mengajukan usulan pemanfaatan ruang kepada gubernur. Jika disetujui dengan menerbitkan rekomendasi kesesuaian tata ruang, bupati bisa menerbitkan izin pemanfaatan ruang,” paparnya.