Menteri Agama Fachrul Razi mencopot Nasarudin selaku Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Nusa Tenggara Barat. Diduga Nasrudin tersandung kasus mala-administrasi pembelian buku kurikulum.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·2 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Menteri Agama Fachrul Razi mencopot Nasarudin selaku Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Nusa Tenggara Barat. Salah satu alasannya terkait dengan Berita Acara dan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia perihal dugaan mala-administrasi pembelian buku Kurikulum 2013 menggunakan dana bantuan operasional sekolah madrasah negeri/swasta di NTB.
Menteri Agama lantas menunjuk M Amin, Kepala Bidang Bimas Islam Kanwil Kemenag NTB, menjadi Pelaksana Tugas Kakanwil Kemenag NTB. ”Saya belum tahu apa pertimbangan memilih saya. Saya belum baca surat keputusannya karena dikirim melalui Whatsapp,” ujar Amin, Kamis (16/1/2020), di Mataram, Lombok.
Nasarudin menjabat Kakanwil Kemenag NTB selama 2 tahun 7 bulan. Sebelumnya, dia pernah menjabat Kepala Kemenag Lombok Timur sekitar empat tahun. Hingga berita ini diturunkan, Nasrudin belum bisa ditemui dan dihubungi.
Sebelumnya Sahabudin, Asisten Penanganan Laporan Ombudsman RI (ORI) Perwakilan NTB, menduga adanya mala-administrasi dalam pembelian buku Kurikulum 13 (K13) yang menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Hal itu diketahui melalui investigasi tahun 2018.
Hasil penelusuran mengindikasikan upaya paksa Kanwil Kemenag NTB terhadap 2.256 madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah negeri/swasta untuk membeli buku umum K13. Uang pembelian itu menggunakan dana BOS yang berjumlah Rp 293.635.200.000 kepada madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah.
Tiap sekolah menyisihkan 20 persen dari total dana BOS yang diterima. Besaran dana BOS Rp 5 juta-Rp 100 juta per sekolah. Pembelian buku K13 itu diduga diarahkan Kepala Seksi Pendidikan Madrasah di Kantor Kemenag kabupaten-kota yang kemudian meneruskannya kepada para kepala sekolah.
”Sekolah-sekolah dipaksa membeli buku meski buku yang dibeli itu sudah dimiliki sekolah. Yang tahu kebutuhan buku bagi siswa adalah para kepala sekolah dan guru-guru,” ujar Sahabudin.
Padahal, para kepala sekolah mengetahui, membeli buku dengan dana BOS merupakan praktik penyimpangan. BOS mestinya untuk biaya operasional pendidikan Program Indonesia Pintar dan Bantuan Siswa Miskin. Namun, apabila menolak pembelian buku, kepala sekolah dianggap melawan perintah atasan.
Perwakilan ORI NTB lantas melaporkan dan mengirim laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) ke Kemenag. ADAPUN perihal dugaan tindak pidana dalam pembelian buku itu ditangani Diskrimsus Polda NTB. Kemenag lantas merespons LAHP ORI NTB itu dengan mencopot Nasarudin.