Pemerintah Urai Biaya Tambahan yang Bebani Tol Laut
Pengusaha kembali mengeluhkan tingginya biaya-biaya tambahan di pelabuhan untuk mendatangkan komoditas kebutuhan masyarakat dengan kapal tol laut. Pemerintah pusat pun berjanji menyelesaikan permasalahan tersebut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Pengusaha Gerai Maritim Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, kembali mengeluhkan tingginya biaya-biaya tambahan di pelabuhan untuk mendatangkan komoditas kebutuhan masyarakat dengan kapal tol laut. Pemerintah pusat pun berjanji menyelesaikan permasalahan tersebut.
Hal ini mengemuka dalam sosialisasi peningkatan pemanfaatan tol laut yang digelar Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan (Dit Lala Kemenhub) di Manado, Kamis (16/1/2020). Dalam rapat itu, diumumkan tarif standar yang dikenakan kepada para pemilik barang.
Kepala Seksi Tramper dan Pelayaran Rakyat Dit Lala Kemenhub Hasan Sadili mengatakan, program tol laut tahun ini mendapatkan subsidi dari APBN sebesar Rp 439,8 miliar untuk melayani 26 trayek dari Aceh hingga Papua. Nilai ini meningkat dari Rp 264,2 miliar untuk 20 trayek pada 2019. Jumlah pelabuhan yang disinggahi juga meningkat dari 72 menjadi 99.
Di wilayah Sulawesi Utara, terdapat satu trayek hub, yaitu Surabaya-Makassar-Tahuna yang diisi Kapal Logistik Nusantara 1. Adapun trayek feeder (pengumpan) menghubungkan Bitung dengan wilayah kepulauan, yaitu Tahuna, Tagulandang, Ulu Siau, Lirung/Melonguane, Miangas, dan Marore. Operator kedua trayek ini adalah PT Pelni.
Hasan mengatakan, total biaya pengiriman barang dengan tol laut dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya ke Pelabuhan Tahuna (Sangihe) diperkirakan sekitar Rp 9 juta per peti kemas ukuran 20 kaki. Subsidi diberikan untuk angkutan peti kemas dan proses pembongkaran barang di pelabuhan asal dan tujuan.
Hal ini dibenarkan Elvi Elim, pemilik PT Global Mega Perkasa Tahuna, pengguna tol laut. Biaya pengiriman dari Surabaya hanya Rp 9,25 juta sampai di Pelabuhan Tahuna. Namun, biaya bongkar muat satu peti kemas oleh tenaga kerja bongkar muat (TKBM) mencapai Rp 3,6 juta. Biaya itu mencakup upah TKBM hingga pengantaran ke gudang tokonya. Biaya pun membengkak jadi Rp 12,85 juta.
Menurut Elvi, biaya tersebut tak efektif menekan harga. “Biaya jasa swasta dari Pelabuhan Bitung sekitar Rp 17,5 juta, tetapi satu kontainer bisa muat 24,5 ton. Dengan tol laut yang sekitar Rp 12 juta, muatannya hanya 18,5 ton. Jadi, kami tidak bisa sungguh merasakan fungsi tol laut untuk menurunkan harga,” katanya.
Kepala Cabang Pelni di Tahuna Hamdan Janis mengatakan, tarif TKBM hingga pengantaran ditetapkan oleh bupati Kepulauan Sangihe, yaitu Rp 150.000 per ton. Menurut dia, biaya itu tidak bisa lagi ditekan karena tuntutan buruh. Tarif itu pun menjadi kewajiban pedagang yang tidak disubsidi oleh pemerintah.
Ini perlu kami komunikasikan ke pemkab supaya biaya tidak harus dibebankan sampai pengantaran.
Di lain pihak, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Sangihe Ferawanti Massora mengatakan, biaya itu dikeluhkan oleh pengusaha. Harga barang pun tidak bisa ditekan untuk mengurangi disparitas dengan di Jawa, yang menjadi tujuan tol laut.
Menanggapi hal ini, Hasan mengatakan, estimasi biaya bongkar muat di Pelabuhan Tahuna sekitar Rp 3,2 juta. Itu sudah mencakup biaya TKBM sekitar Rp 1 juta seperti di pelabuhan-pelabuhan lain di Papua. Biaya Rp 150.000 per ton pun dinilainya terlalu mahal.
“Seharunya, para pedagang bisa memakai mobilnya sendiri untuk membawa barang ke gudang. Ini perlu kami komunikasikan ke pemkab supaya biaya tidak harus dibebankan sampai pengantaran. Kami akan komunikasikan dengan pemkab,” katanya.
Hasan menabahkan, para pengusaha bisa menggunakan truk Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Biaya yang ditetapkan peraturan menteri maksimal hanya Rp 400.000. “Kalau ingin mengajukan permintaan bantuan truk, silakan saja,” katanya.
Untuk menambah transparansi biaya, Hasan mengatakan, para pengusaha yang tergabung dalam Gerai Maritim di seluruh Indonesia bisa menggunakan aplikasi Logistic Communication System (LCS) untuk memesan barang. Aplikasi ini dikembangkan oleh PT Telkom.
Nantinya, semua pihak, mulai dari operator pelayaran, pemasok barang, consignee (pedagang), hingga reseller (pedagang tingkat kedua) mesti terdaftar. “Selain diawasi pemerintah daerah, pemerintah pusat juga akan mengawasi dan memperbaiki sistem logistik dengan teknologi,” katanya.
Selain biaya TKBM, para pengusaha juga terbebani biaya tambahan dalam bentuk pajak. Ahmad Jonas, staf Toko Jaya Bersama Tahuna, mengatakan, pihaknya dan beberapa pedagang Gerai Maritim di Kepulauan Sangihe juga dikenakan pajak karena penggunaan tol laut. Padahal, daerah lain tidak dikenakan pajak.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Sangihe Feliks Gaghaube mengatakan, 23 consigneeanggota Gerai Maritim mendatangkan 959 peti kemas dengan tol laut sepanjang 2018. Pada 2019, jumlah peti kemas yang didatangkan menurun menjadi 324 saja, salah satunya karena beban pajak.
“Pedagang tidak akan menolak membayar pajak. Namun, perlu disosialisasikan pajak pasal berapa yang dikenakan, kemudian dikenakan sejak tahun berapa,” kata Feliks.
Terkait hal ini, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kemenhub Wisnu Handoko mengatakan, pajak tambahan ini hanya dikeluhkan oleh pedagang Gerai Maritim di Kepulauan Sangihe. Seharusnya, aturan pajak yang dikenakan kepada pengguna tol laut di seluruh Indonesia sama. “Kami akan selesaikan dengan mengundang Dirjen Pajak Kementerian Keuangan dalam evaluasi selanjutnya,” ujarnya.