Cegah Penularan Antraks, Ternak di Gunung Kidul Disuntik Antibiotik
Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus berupaya mencegah penularan penyakit antraks di wilayah tersebut.
GUNUNG KIDUL, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus berupaya mencegah penularan penyakit antraks di wilayah tersebut. Pencegahan itu antara lain dengan menyuntikkan antibiotik, vitamin, dan vaksin pada hewan ternak serta membatasi lalu lintas ternak di daerah itu.
Pada Sabtu (18/1/2020), petugas melakukan penyuntikan antibiotik dan vitamin pada hewan ternak di Desa Pucanganom, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunung Kidul. Jumlah ternak yang disuntik di desa itu mencapai 2.500 ekor, terdiri dari sapi dan kambing.
”Kami terus melakukan penyuntikan antibiotik, vitamin, dan vaksin. Ini kami lakukan terus supaya antraks tidak menyebar luas,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Bambang Wisnu Broto di sela-sela penyuntikan di Desa Pucanganom.
Antraks merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Penyakit ini bisa menular dari hewan ke manusia, tetapi tidak menular dari manusia ke manusia. Penularan pada manusia bisa terjadi apabila ada kontak langsung dengan hewan yang terkena antraks atau karena mengonsumsi daging hewan yang terkena antraks.
Pada akhir Desember 2019, muncul kasus antraks di Dusun Ngrejek Wetan, Desa Gombang, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul. Sebanyak 27 orang di dusun itu dinyatakan positif antraks setelah melakukan kontak dengan hewan ternak yang terkena antraks. Hewan ternak yang terkena antraks itu diduga telah disembelih dan dagingnya dimakan.
Sementara itu, sejak Desember 2019 sampai Januari 2020, tercatat 21 sapi dan 16 kambing di Gunung Kidul mati mendadak. Namun, hanya 2 sapi dan 2 ternak kambing yang dinyatakan positif terpapar bakteri antraks.
Bambang menjelaskan, sesudah munculnya kasus antraks itu, pihaknya langsung melakukan berbagai upaya untuk mencegah penularan antraks di Gunung Kidul. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyuntikkan antibiotik, vitamin, dan vaksin pada hewan-hewan ternak di sekitar lokasi munculnya antraks.
Penyuntikan antibiotik dan vitamin dilakukan lebih dulu, lalu dua pekan kemudian baru dilakukan penyuntikan vaksin. ”Penyuntikan ini dilakukan oleh sekitar 100 petugas yang terbagi dalam beberapa tim,” ujar Bambang.
Bambang menambahkan, penyuntikan itu dilakukan pada hewan ternak yang ada dalam radius 5 kilometer dari Desa Gombang yang merupakan lokasi awal munculnya antraks. Hingga sekarang, penyuntikan sudah dilakukan pada lebih dari 12.000 ternak yang terdiri dari sapi dan kambing.
Total ada lima desa yang hewan ternaknya sudah dilakukan penyuntikan, yakni Desa Gombang dan Desa Sidorejo di Kecamatan Ponjong, Desa Dadapayu dan Desa Ngeposari di Kecamatan Semanu, serta Desa Pucanganom di Kecamatan Rongkop.
”Mana yang lebih dahulu diberikan penyuntikan, melihat dari kondisinya. Ini dimulai dari titik merah, yaitu Desa Gombang, di mana bakteri antraks muncul. Lalu, meluas sesuai radius ke daerah sekelilingnya,” tuturnya.
Pengawasan
Bambang memaparkan, pihaknya juga mengawasi lalu lintas atau peredaran hewan ternak di desa-desa sekitar lokasi munculnya penyakit antraks. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunung Kidul pun membentuk tim lintas instansi untuk mendirikan posko pengawasan di perbatasan desa-desa sekitar lokasi antraks.
”Bagi saya, jangan sampai ada ternak yang keluar ataupun masuk terlebih dahulu. Ini untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” ucap Bambang.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Ali Agus mengatakan, untuk mencegah penularan antraks secara lebih luas, perlu dilakukan pembatasan lalu lintas hewan ternak di Gunung Kidul. ”Mobilisasi ternak sebisa mungkin dibatasi. Kalau perlu, pemerintah membuat regulasi untuk stop dulu ternak dari dan ke wilayah lain,” katanya.
Selain itu, Ali juga mengusulkan, aktivitas jual beli di pasar hewan di Gunung Kidul dihentikan sementara. Penghentian sementara itu penting untuk mencegah terjadinya penularan penyakit antraks, baik ke hewan ternak maupun manusia.
”Saya tidak tahu pasar-pasar hewan di Gunung Kidul masih diperkenankan buka atau tidak. Kalau perlu, untuk sementara pasar hewan di sana tutup dulu dalam rangka mengurangi risiko yang terjadi,” ujar Ali.
Di sisi lain, Ali juga meminta peternak dan warga untuk memakai alat pelindung diri saat melakukan kontak dengan hewan ternak, terutama hewan yang sakit atau mati mendadak. Alat pelindung diri itu bisa berupa alas kaki tertutup, celana panjang, dan sarung tangan.
Hewan yang mati karena antraks harus dimasukkan ke dalam lubang dengan kedalaman minimal 2 meter, lalu dibakar.
Kasus sebelumnya
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Riris Andono Ahmad, mengatakan, kasus antraks di Gunung Kidul ini bukanlah yang pertama kali di wilayah DIY. Sebelumnya, Mei 2019, sejumlah sapi di Gunung Kidul juga mengalami kematian karena diduga terkena antraks.
Pada Januari 2017, sejumlah warga di Kabupaten Kulon Progo, DIY, juga diduga terserang penyakit antraks kulit. Beberapa warga itu diduga tertular antraks setelah mengonsumsi daging sapi yang terindikasi terkena antraks. Dalam waktu yang berdekatan dengan kasus di Kulon Progo itu, seorang anak di Kabupaten Sleman, DIY, dilaporkan meninggal karena diduga tertular antraks.
”Kasus antraks di DIY ini sudah beberapa kali terjadi. Jadi, saya rasa perlu kesadaran yang lebih besar dari masyarakat mengenai penyakit antraks dan bagaimana menanggulanginya,” kata Riris.
Riris menambahkan, masyarakat harus segera melapor kepada pemerintah apabila memiliki atau mengetahui hewan ternak yang mati mendadak atau menunjukkan gejala antraks, misalnya demam tinggi, gelisah, tidak mau makan, dan mati dengan keluarnya darah hitam dari lubang tubuh.
”Ternak yang menunjukkan gejala antraks tidak boleh dijual atau disembelih karena bisa menularkan penyakit antraks,” ucap Riris.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM Wahyuni mengatakan, bakteri Bacillus anthracis yang menyebabkan antraks bisa mengeluarkan spora yang dapat bertahan di tanah selama puluhan tahun. Spora itu bisa mencemari makanan hewan ternak sehingga hewan tersebut tertular penyakit antraks.
Ia menambahkan, hewan yang terkena antraks tidak boleh disembelih dan dikonsumsi. Sebab, saat hewan itu disembelih, bakteri Bacillus anthracis akan keluar bersama darah hewan.
Setelah itu, Bacillus anthracis akan berinteraksi dengan udara sehingga menghasilkan spora. ”Begitu Bacillus anthracis berhubungan dengan udara, dia akan membentuk spora,” kata Wahyuni yang merupakan pakar mikrobiologi.
Menurut dia, hewan yang mati karena antraks harus dimasukkan ke dalam lubang dengan kedalaman minimal 2 meter, lalu dibakar. Setelah itu, jasad hewan tersebut harus dikubur dengan tanah dan diberi disinfektan. Tempat penguburan itu juga sebaiknya disemen untuk menandai bahwa di tempat tersebut pernah terjadi kasus antraks.