Turis Kapal Pesiar Meresapi Keseharian Warga Ambon
Turis kapal pesiar MV Boudicca mendatangi sejumlah lokasi wisata di Kota Ambon. Mereka juga diajak menjajal berbagai aktivitas keseharian warga, seperti produksi sagu serta pengolahan pala dan cengkeh.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kapal pesiar MV Boudicca, yang mengangkut 927 wisatawan mancanegara, menyambangi Pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon, Maluku, Minggu (19/1/2020). Sebanyak 210 orang di antara mereka mendatangi sejumlah lokasi wisata di Kota Ambon. Para turis juga diajak menjajal sejumlah aktivitas keseharian warga, seperti produksi sagu serta pengolahan pala dan cengkeh.
Kapal berbendera Bahama itu sandar di pelabuhan tepat pukul 07.00 WIT, sesuai dengan rencana. Sekitar 25 menit kemudian, satu per satu wisatawan turun dari kapal delapan dek buatan tahun 1973 yang dikembangkan lagi tahun 2005 itu. Kapal mewah dengan bobot mati 28.388 gros ton itu panjangnya 205,4 meter dan memiliki 462 kamar.
Banyak yang mengabadikan momen penyambutan itu dengan kamera.
Di pelabuhan, wisatawan disambut musik tradisional Maluku toto buang dan tifa serta tarian tifa oleh pemudi-pemudi Ambon yang mengenakan tenun ikat khas Kepulauan Tanimbar, wilayah bagian tenggara Maluku. Mereka terkesan dengan suguhan budaya yang mirip kultur negara-negara Polinesia di Pasifik. Banyak yang mengabadikan momen penyambutan itu dengan kamera. ”Mirip di Hawaii,” ujar seorang turis sambil menunjuk alat musik tifa.
Di terminal pelabuhan, wisatawan melihat produk industri kreatif berupa tenun ikat, gelang, tas, hingga makanan kering dan minuman khas seperti sari buah pala. Wisatawan lalu dijemput pemandu dan diarahkan ke destinasi wisata pilihan, mulai dari Pintu Kota, Musem Siwalima, Pantai Natsepa, Gong Perdamaian Dunia, Patung Christina Martha Tijahahu, hingga menonton atraksi bambu gila.
Koordinator tur di darat, Helen de Lima, mengatakan, selain mengunjungi lokasi wisata dan atraksi budaya, wisatawan juga diajak menyaksikan keseharian warga, seperti mengolah sagu dan memanen pala dan cengkeh. Wisatawan juga diberi kesempatan mencoba aktivitas keseharian itu agar mereka mendapatkan pengalaman. Helen meyakini, konsep pariwisata partisipatif itu membuat para wisatawan terkesan.
Menurut dia, hampir semua wisatawan asing belum pernah memegang tepung sagu yang nantinya diolah menjadi kue atau papeda. Banyak wisatawan yang sudah mengetahui sejarah rempah dunia di Kepulauan Maluku, tetapi belum pernah melihat langsung buah pala dan cengkeh.
”Pengalaman itu nantinya akan menjadi cerita yang paling berkesan. Orang-orang yang mendengar cerita itu pasti penasaran untuk datang ke Ambon,” katanya.
Ia mengatakan, model pariwisata partisipatif berbasis keunggulan lokal itu dianggap efektif untuk menarik semakin banyak wisatawan ke Maluku. Menurut data Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Maluku tahun 2016 sebanyak 15.015, tahun 2017 sebanyak 18.075, dan tahun 2018 sebanyak 18.979. Untuk tahun 2019, jumlahnya diperkirakan berkurang mengingat mahalnya harga tiket pesawat.
Wendy, wisatawan asal Inggris, mengaku terkesan dengan keindahan laut di Teluk Ambon. ”Air lautnya biru. Di dermaga bisa lihat ikan-ikan berenang,” ujarnya.
Ia mengikuti wisata pesiar tersebut bersama suaminya. Keduanya mulai naik kapal dari Australia setelah terbang dari Inggris. Ambon merupakan kota pertama di Indonesia yang disinggahi kapal tersebut. Selanjutnya, kapal berlayar ke Pulau Komodo, Bali, Singapura, dan tujuan-tujuan lainnya.
Wakil Wali Kota Ambon Syarif Hadler mengatakan, sebagai kota yang sering disinggahi kapal pesiar, Ambon terus dibenahi untuk menyambut wisatawan. Kesempatan tersebut juga menjadi momentum untuk memperkenalkan Ambon sebagai ”Kota Musik Dunia”. Di beberapa sudut kota, wisatawan disambut dengan musik dan suara emas penyanyi lokal Ambon.
Menurut dia, pariwisata menjadi penggerak ekonomi di Ambon selain jasa dan perdagangan. Pada kunjungan wisatawan kali ini, satu wisatawan bisa membelanjakan uang hingga Rp 3 juta.
”Butuh dukungan dari semua pihak, pariwisata tidak bisa dikelola secara parsial oleh pemerintah kota saja,” ujarnya. Pemerintah provinsi diharapkan lebih proaktif.
Meski demikian, warga yang hadir menyaksikan kedatangan kapal pesiar itu mengaku kecewa lantaran tidak adanya seremoni penyambutan seperti pada kedatangan kapal pesiar sebelumnya. Biasanya, kapten kapal dikalungi bunga atau syal oleh pejabat Pemerintah Kota Ambon kemudian dilanjutkan dengan ucapan selamat datang. ”Ini yang urus provinsi. Saya tidak komentar,” ujar Syarif.