Di saat Jakarta kini gembar-gembor tentang industri 4.0, warga di pinggiran negeri yang berhadapan dengan Timor Leste itu masih kesulitan mendapat sinyal telepon seluler.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Berlayar dengan kapal selama hampir enam hari dari Ambon ke Pulau Lirang di sudut terjauh Maluku seperti sedang menapaki lorong waktu kembali ke masa lampau. Di saat Jakarta kini gembar-gembor tentang industri 4.0, warga di pinggiran negeri yang berhadapan dengan Timor Leste itu masih kesulitan mendapat sinyal telepon seluler. Layanan dasar seperti kesehatan pun megap-megap.
Potret itu diambil dari Kampung Uspisera di Pulau Lirang, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya. Rumah-rumah warga yang berada di pesisir itu beratap daun ilalang dengan dinding dari papan dan pelepah pohon lontar. Hampir 50 rumah dibuat dengan model dan bahan yang sama. Rumah itu dibangun di atas tanah tanpa fondasi.
Sekitar 200 jiwa penduduk kampung itu bekerja sebagai nelayan dan petani lahan kering. Hampir semua hasil olahan dikonsumsi sehari-hari dan sisanya untuk persediaan musim kemarau panjang atau cuaca buruk. Tak ada saluran pasar yang menguntungkan. Padahal, hasil tangkapan nelayan dan olahan petani punya nilai ekonomi tinggi: ikan karang, madu, gula merah nondiabetes, minyak kelapa murni, dan rumput laut.
Timor Leste menjadi sandaran hidup mereka.
Mereka terpaksa menjualnya ke Dili, ibu kota Timor Leste, dengan harga murah. Harga ikan kerapu, misalnya, hanya Rp 16.000 per kilogram. Sekadar perbandingan, di Ambon, harga kerapu mencapai Rp 100.000 per kilogram. Di luar negeri seperti Singapura, harga kerapu per kilogram paling murah Rp 250.000.
Uang hasil penjualan ikan pun langsung digunakan untuk membeli kebutuhan harian juga di Dili. "Timor Leste menjadi sandaran hidup mereka. Untung ada Timor Leste," kata Abraham Mariwy, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura Ambon, kepada Kompas, Kamis (16/1/2020).
Abraham, yang juga sekaligus tokoh pemuda Maluku Barat Daya itu, baru saja mengakreditasikan sekolah di Pulau Lirang akhir tahun lalu. Potret yang direkam Abraham tidak beda jauh dengan temuan Kompas kala mendatangi Lirang pada April 2016 lalu.
Tak hanya urusan ekonomi, urusan kesehatan juga bergantung pada Timor Leste. Warga Lirang yang sakit, terlebih ibu-ibu yang kesulitan melahirkan, terpaksa dibawa ke Dili. Mereka menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 45 menit sampai 1 jam, tergantung tinggi gelombang. Terkadang, pasien terlebih dahulu dibawa ke pulau terdekat milik Timor Leste, yakni Atauro. Atauro dijangkau dengan perahu motor sekitar 10 menit dari Uspisera.
Bantuan cuma-cuma itu lantaran Lirang dan Dili punya kedekatan budaya.
Tiba di Atauro, otoritas setempat lalu menelepon pihak rumah sakit di Dili agar mengirim pesawat berbadan kecil jenis caravan untuk menjemput pasien dari Indonesia itu. Pasien tidak mengeluarkan satu rupiah pun untuk membayar ongkos pesawat hingga biaya pengobatan serta perawatan di Dili.
Pasien hanya menunjukkan surat keterangan dari kepala kampung yang menerangkan bahwa mereka adalah warga Pulau Lirang. Bantuan cuma-cuma itu lantaran Lirang dan Dili punya kedekatan budaya.
Kondisi serba kekurangan yang sudah berlangsung sejak turun temurun itu membuat warga sulit keluar dari jurang kemiskinan. Pada 15 Januari 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku mengungkapkan terjadi penambahan jumlah penduduk miskin di Maluku dari 317.690 orang pada Maret 2019 menjadi 319.510 orang pada September 2019. Artinya, selama enam bulan, penduduk miskin naik sebanyak 1.820 orang atau rata-rata sebanyak 10 orang setiap hari.
Wilayah penyebaran penduduk miskin terbanyak adalah sisi selatan Maluku, mulai dari Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, Kepulauan Tanimbar, dan Maluku Barat Daya. Wilayah itu berbatasan dengan Australia dan Timor Leste. Pulau Lirang masuk di dalamnya. Kemiskinan di wilayah itu lebih disebabkan pada minimnya akses dan intervensi pembangunan oleh pemerintah.
Sebagian besar penduduk miskin Maluku berada di pedesaan, yakni 271.370 jiwa. Adapun penduduk miskin di wilayah perkotaan sebanyak 48.150 jiwa. Secara persentase, kemiskinan Maluku sebesar 17,65 persen dari 1,8 juta jiwa penduduk. Maluku menduduki urutan keempat tertinggi secara nasional. Urutan pertama ditempati Papua lalu disusul Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Penduduk miskin adalah warga dengan pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang ditetapkan dalam survei tersebut adalah Rp 545.378, termasuk kebutuhan dasar makanan sebesar 2.100 kilokalori per hari. "Perlu kerja keras semua pihak untuk menurunkan kemiskinan di Maluku," kata Pelaksana Tugas Kepala BPS Provinsi Maluku Jessica Pupela.
Orientasi proyek
Kepala Dinas Sosial Provinsi Maluku Sartono Pinning mengatakan, pemerintah terus berupaya menekan angka kemiskinan melalui sejumlah program, seperti bantuan langsung tunai, beras raskin, dan program pemberdayaan lainnya. "Sering kami kasih bantuan. Tim dari provinsi sering turun," ujarnya. Namun, Sartono tidak merinci program khusus untuk wilayah miskin di perbatasan.
Temuan Kompas selama mendatangi sejumlah wilayah perbatasan, banyak bantuan pemerintah yang berorientasi pada proyek. Banyak proyek yang gagal memberikan dampak positif bagi masyarakat, bahkan terkesan asal-asalan. Di Lirang, contohnya, pelabuhan yang dibangun berada di perairan dangkal sehingga tak bisa dilabuhi kapal. Ada juga bantuan tempat pengawetan ikan tapi tanpa ditopang infrastruktur listrik.
Dana desa yang diharapkan mendorong perekonomian desa juga tak banyak berpengaruh di wilayah perbatasan yang minim akses transportasi. Makanya, tak heran bila dari 1.198 desa di Maluku, hanya 10 desa dengan status mandiri, 84 desa berstatus maju, dan 376 desa statusnya berkembang. Sementara, sebanyak 580 desa berstatus tertinggal dan 145 desa sangat tertinggal. Padahal, sejak 2015 hingga 2020, anggaran dana desa yang mengalir ke Maluku sebanyak Rp 5,3 triliun.
Kehidupan masyarakat Kampung Uspisera di Pulau Lirang menjadi potret kealpaan pemerintah membangun wilayah perbatasan yang menjadi beranda negeri. Janji dalam Nawacita Presiden Joko Widodo, yakni membangun dari pinggiran, masih terus dinantikan warga Lirang.