Gunung Semeru hingga kini terus erupsi. Tahun 1941, Gunung Semeru pernah mengalami erupsi celah/ samping. Potensi terjadinya letusan samping (selain erupsi puncak) dari gunung di Lumajang, Jawa Timur itu, masih ada.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·7 menit baca
Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu termasuk salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Bukan saja mampu memuntahkan material vulkanik dari puncak, Semeru juga mengeluarkan material vulkanik dari samping (celah), seperti terjadi tahun 1941. Potensi letusan samping gunung di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur itu, masih ada.
Selasa (21/01/2020), Gunung Semeru masih terus erupsi sejak Jumat (17/01/2020). Visual hari itu, Semeru mengeluarkan asap putih hingga kelabu setinggi 400 meter (m) dari puncak, mengarah ke barat. Adapun aktivitas kegempaannya tetap fluktuatif, terekam 32 kali letusan dengan amplitudo 11-23 milimeter selama 55-160 detik, terjadi 6 kali guguran, 3 kali hembusan, serta dua kali gempa tektonik jauh selama 110-440 detik.
Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan, status Semeru tetap Waspada Level II. “Di sini, masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas di dalam radius 1 kilometer dan wilayah sejauh 4 km dari sektor lereng Selatan-Tenggara kawah aktif Jonggring Saloko. Selain itu, masyarakat juga diminta mewaspadai guguran kubah lava kawah Jonggring Saloko,” kata Hendra Gunawan, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG saat dihubungi dari Malang.
Kondisi erupsi tersebut sebenarnya, menurut Hendra, biasa terjadi di Semeru. Selama ini, Semeru rata-rata meletus setiap 20-30 menit sekali.
Menyikapi erupsi Semeru, masyarakat diajak waspada terhadap gangguan abu vulkanik Semeru bagi sektor penerbangan. Abu vulkanik diyakini dapat merusak mesin pesawat. Area penerbangan terdekat adalah Bandara Abdulrachman Saleh Malang. PVMBG pun sudah mengeluarkan VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) atau peringatan akan gangguan abu vulkanik terhadap penerbangan.
Hingga kini, belum ada laporan gangguan penerbangan akibat abu vulkanik Semeru di Bandara Abdulrachman Saleh, sebagai bandara terdekat dengan Semeru.
“Untuk ancaman bahaya primer seperti lava pijar, saya rasa saat ini tidak ada. Sebab, permukiman penduduk terdekat adalah 8 kilometer di Dusun Rowo Baung, Pronojiwo. Untuk musim hujan seperti ini, justru patut diwaspadai kemungkinan potensi lahar hujan,” kata Liswanto, pengamat gunung api di Pos Pantau Gunung Sawur, Candipuro. Pos Pantau Gunung Sawur sendiri terletak 14 km dari Semeru.
Gunung Semeru pernah meletus hebat tahun 1994. Saat itu, gunung setinggi 3.676 mdpl tersebut meletus disertai dentuman dan hujan abu, serta guguran lava membentuk awan panas dari kubah lava serta lidah lava. Aliran awan panas guguran masuk ke Besuk (Sungai) Kobokan sejauh 11,5 km, Besuk Kembar sejauh 7,5 km, dan Besuk Bang sejauh 3,5 km. Volume awan panas mencapai 6,8 juta meter kubik. Akibat erupsi itu, 7 orang meninggal dan 2 orang hanyut terbawa lahar.
Potensi lahar hujan juga patut diwaspadai di beberapa kawasan rawan bencana. Aliran lahar hujan akan mengalir melalui sejumlah besuk (sungai), yaitu Besuk Sat, Besuk Kobokan, Besuk Kembar, dan lainnya.
Celah
Yang tidak boleh dilupakan, Semeru menyimpan potensi bencana lain yaitu letusan samping/celah. Sejarahnya, tahun 1941, Semeru pernah mengalami letusan celah atau letusan samping di area kawah baru, yaitu Kemerling. “Jadi, saat itu lava tidak keluar dari puncak, tapi menerobos di antara celah batuan dan terciptalah kawah Kemerling di bagian samping,” kata Liswanto.
Pria yang sudah 25 tahun bertugas mengamati gunung api tersebut teringat bahwa seminggu setelah letusan samping, suhu material vulkanik yang sudah bercampur batu dan tanah masih mencapai 200 derajat celcius. Saat itu, ia bertugas mengukur material vulkanik muntahan Semeru.
“Yang perlu diwaspadai sekarang adalah kemungkinan terjadinya letusan samping. Letusan samping itu bisa terjadi karena lubang kepundan tertutup material, sehingga lava akan bergerak mencari tempat terlemah yang bisa ditembus,” kata Liswanto.
Letusan samping/celah adalah hal umum dialami gunung api. Kementerian ESDM dalam laman web-nya menjelaskan, sumber erupsi bisa terjadi di pusat (erupsi keluar melalui kawah utama), erupsi samping (erupsi keluar dari lereng tubuh), erupsi celah (erupsi yang muncul pada retakan/sesar, dapat memanjang sampai beberapa kilometer), serta erupsi eksentrik (erupsi samping di mana magma keluar bukan dari kepundan pusat yang mengarah ke samping, tetapi langsung dari dapur magma dengan kepundan sendiri).
Terjadinya letusan celah/samping tersebut -kawahnya bernama Kemerling- menurut Liswanto, seakan membenarkan cerita masyarakat yang menyebut bahwa kawah (kepundan) Semeru berpindah-pindah. “Sebelumnya, kawah Semeru berada di Ayek-Ayek, lalu Kalimati, Mahameru, dan kini kawah paling muda dan terus aktif adalah Jonggring Saloko. Usia kawah Jonggring Saloko diduga sudah ratusan tahun. Tidak ada yang bisa mengukur rentang waktu berapa tahun kawah itu akan berpindah,” kata Liswanto.
Hasil pengamatan, kondisi pipa kepundan Semeru mulai tertutup material vulkanik sedikit demi sedikit. “Masih ada lubang di sana, namun sebagian besar sudah tertutup. Entah nanti kalau benar-benar sudah tertutup rapat dan tidak ada lubang akan seperti apa jadinya. Bisa jadi aliran magma akan menerobos mencari celah batu yang paling mudah diterobos,” kata Liswanto. Pada kondisi itu, sangat mungkin Semeru mengalami letusan celah/samping kembali.
Meski potensi letusan samping/celah ada, masyarakat diharapkan tidak khawatir, selama masyarakat menaati peringatan PVMBG. “Masyarakat Lumajang sudah paham mengenai Gunung Semeru dan tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi apa-apa dengan Semeru. BPBD juga sudah sering mengadakan gladi lapangan tentang gunung Semeru. Kami berharap ini bisa menjadi modal kesiapsiagaan kami terkait potensi bencana Semeru,” kata Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang, Mohammad Wawan hadi Siswoyo. Ada 27 desa siaga bencana di Lumajang, termasuk di antaranya siaga terhadap letusan Semeru.
Berpotensi terulang
Pensiunan peneliti PVMBG di Bandung, Deden Wahyudin, dalam artikelnya di Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi Vol.1 No.3 Desember 2010 menuliskan, potensi letusan samping/celah Gunung Semeru masih ada di masa mendatang atau berisiko terulang. Itu karena ada kontrol kelurusan/struktur zona lemah, terutama di sektor lereng timur-tenggara.
Letusan celah/samping Semeru terjadi 21 September 1941. Erupsi muncul setelah Semeru beristirahat lebih kurang 28 tahun, sejak letusan terakhir di kawah pusat pada 23 Juni 1913. Erupsi terjadi antara pukul 08.00-10.00 WIB, terdengar letusan keras di bagian tenggara kaki Semeru dan mengeluarkan asap letusan setinggi 2.000 meter di atas lubang letusan baru.
Saat itu hujan abu tipis jatuh di kota Malang dan Blitar yang berjarak hingga 85 km dari puncak Semeru. Lubang letusan baru muncul di kaki bagian tenggara kerucut gunung. Panjang celah 1,3 km dengan tinggi rekahan 1.765 mdpl serta titik terendah 1.470 mdpl.
Menurut Deden, itu adalah letusan samping pada jarak horizontal, lebih kurang 4 km arah timur-tenggara dari kawah tua (Jonggring Saloko). Juga pada jarak vertikal lebih dari 2.000 m di bawah puncak. Ada enam titik celah keluar aliran lava Semeru saat itu.
Aliran lava masuk ke Besuk Semut dan kemudian menyusuri aliran sungai tersebut ke arah hilir. Kegiatan berakhir pada Februari 1942, dengan panjang aliran lava saat itu mencapai 6,9 km dari lubang letusan.
Prasejarah
Pola erupsi samping/celah di Gunung Semeru tersebut, menurut Deden, rupanya sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Beberapa bukti letusan samping pada masa prasejarah tersebut, antara lain terbentuknya Ranu Darungan, Ranu Pakis, Gunung Leker, Gunung Totogan Malang, Gunung Papak, dan beberapa tempat lain di lereng Semeru. Ranu Pakis dan Ranu Darungan saat ini merupakan maar (kawah berisi air) di lereng selatan-tenggara Gunung Semeru.
Faktor letusan samping di Semeru, masih tulis Deden, yaitu adanya pola zona lemah berupa rekahan dan sesar. Berdasar pola struktur geologi dan kelurusan yang diperkirakan terdapat pada lereng Semeru pada gambar di bawah ini, maka kemungkinan letusan samping yang akan datang terutama terjadi di lereng selatan-tenggara dan timur (daerah Pronojiwo dan Candipuro, Kabupaten Lumajang).
Jarak horizontal antara bekas lubang letusan samping sebelumnya, seperti Gunung Papak, Gunung Leker, Gunung Totogan Malang, Ranu Darungan, titik efusif Tawonsongo, dan titik letusan 1941 terhadap kawah pusat (puncak), menurut Deden sejauh 3-7,5 km. Oleh karena itu, titik letusan samping yang akan datang dimungkinkan akan berjarak kurang dari 8 km dari kawah pusat.
Pada akhirnya, potensi letusan samping/celah Semeru memang ada. Namun yang perlu diingat, terbentuknya letusan samping juga tergantung pada penyimpanan energi (misalnya masa istirahat yang panjang seperti terjadi tahun 1941). Seiring waktu, magma akan mendorong lebih kuat untuk mencari jalan keluar melalui zona lemah, karena lubang di kawah pusat terhalang sumbatan berupa kubah/sumbat lava.
Akan tetapi, dengan aktivitas vulkanik Semeru seperti saat ini, yang meletus secara berkala, maka kemungkinan terjadinya letusan samping di lereng Semeru sangat kecil. Letusan secara berkala tersebut menandakan bahwa pipa diatrema (pipa kepundan) dalam kondisi terbuka.
Jadi, bisa dibilang, selama Semeru rutin erupsi, masyarakat diharapkan tidak terlalu khawatir. Di balik keindahan dan kemegahannya, Semeru menyimpan misteri yang patut diwaspadai.