Pembangunan PLTA Batang Toru Dinilai Minim Manfaat
Pembangunan PLTA di kawasan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tidak bermanfaat secara signifikan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru oleh PT North Sumatera Hydro Energy dinilai minim manfaat bagi masyarakat di Sumatera Utara. Keberadaan proyek ini juga ditengarai akan mengancam populasi Orangutan Tapanuli atau Pongo tapanuliensis.
Principal di Brown Brothers Energy and Environment (B2E2) David W Brown merilis laporan tentang ”Analisis Kebutuhan Listrik di Provinsi Sumatera Utara dan Dampak Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru”, di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Brown mengemukakan, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di kawasan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tidak bermanfaat secara signifikan. Terlebih, ketersediaan listrik di Sumatera Selatan sejak 2017 telah melebihi kapasitas yang diperlukan.
”Dulu, Sumatera Utara memang mengalami pemadaman listrik akibat energi yang tidak mencukupi. Namun, pada 2017 dan 2018, ketersediaan energi surplus,” katanya di Jakarta.
Selain itu, Brown menyatakan bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi dengan elektrifikasi tertinggi di Indonesia, yakni 95,8 persen. Artinya, masih ada 600.000 penduduk yang belum mendapat aliran listrik.
Brown menduga, 600.000 penduduk tersebut tinggal di Pulau Nias. Lokasinya yang jauh dari Batang Toru serta dipisahkan oleh lautan membuat wilayah ini kemungkinan besar tidak akan mendapatkan manfaat dari keberadaan PLTA Batang Toru.
Alasan lainnya, PLTA Batang Toru juga dinilai tidak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan listrik masa depan di Sumatera Utara. Sebab, selain PLTA Batang Toru terdapat 79 pembangkit listrik yang akan dibangun dan dikembangkan di Sumatera Utara hingga 2028.
”Output tenaga listrik akan menjadi dua kali lipat dari kebutuhan pada 2024 nanti,” ujar Brown.
Menurut Brown, pembangunan PLTA Batang Toru nantinya hanya akan menggantikan pembangkit listrik spesifik di Sumatera Utara. Pembangkit tersebut antara lain adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas Alam Sumbagut 1, 3, dan 4 yang belum dibangun.
”Reduksi karbon dioksida yang diklaim sebesar 1,6 juta ton sangat berlebihan. Nilai itu ditinggikan sekitar 33 persen hingga 55 persen,” kata Brown.
Terisolasi
Terowongan dam Batang Toru nantinya akan dibangun sepanjang 13 kilometer. Hal ini, diperkirakan akan mengancam orangutan di sungai dan memisahkan populasi mereka menjadi kelompok-kelompok terisolasi.
"Bahwa dam tersebut sedang dibangun di tempat yang mana menurut para ahli adalah salah satu tempat tersisa bagi Orangutan tapanuli yang hidup di zona barat menyebrang ke zona timur dan sebaliknya. Tentunya, dam tersebut akan berkontribusi atas terisolasinya Orangutan Tapanuli yang hidup di masing-masing area (zona barang dan timur). Tapi saya tidak yakin bahwa dam tersebut dengan sendirinya akan memotong sepenuhnya zona barat dari zona timur," ujar Brown
Sebelumnya, Kepala Komunikasi dan Urusan Eksternal PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Firman Taufick berkomitmen melindungi satwa orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) di kawasan Batang Toru. Perusahaannya akan bekerja sama dengan tim pengaman satwa liar, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Penasihat Senior untuk Lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto menuturkan, mereka akan membuat beberapa jembatan agar orangutan dapat menyeberangi Blok Barat dan Blok Timur secara aman. Jumlah jembatan belum dipastikan (Kompas, 22 September 2019).
Direktur Srikandi Lestari Sumatera Utara Mimi Surbakti mengatakan, terjadi pembabatan hutan untuk membangun PLTA Batang Toru. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di hilir Sungai Batang Toru kebanjiran beberapa waktu lalu.
Selain itu, Mimi khawatir dam raksasa yang dibangun di Batang Toru tidak tahan terhadap bencana alam. Pasalnya, berdasarkan Peta Geologi Indonesia, dam tersebut dibangun di kawasan rawan bencana. ”Daerah ini masuk dalam kawasan rawan gempa karena terdapat sesar Sumatera,” ujarnya.