Serak Jawa Jadi Andalan Petani Karawang Halau Tikus
Serak jawa menjadi salah satu tumpuan petani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, untuk mengendalikan populasi tikus. Dalam tiga tahun terakhir, populasi tikus meningkat sehingga merusak banyak sawah di sana.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Serak jawa (Tyto alba) menjadi salah satu tumpuan petani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dalam mengendalikan populasi tikus. Dalam tiga tahun terakhir, populasi tikus meningkat sehingga merusak banyak sawah di kawasan yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional itu.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Karawang, pada 2017 tercatat 1.911 hektar sawah terserang tikus. Setahun kemudian, luas sawah yang terdampak meningkat menjadi 3.912 Ha. Pada 2019, lonjakan sawah yang diserang tikus semakin besar menjadi 13.018 Ha. Total luas lahan di Karawang hingga tahun 2019 sebesar 95.298 Ha.
Kepala Seksi Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian Karawang Yuyu Yudaswara, Kamis (23/1/2020), mengatakan, setidaknya ada delapan organisme pengganggu tanaman yang menyerang tanaman padi di Karawang. Tikus adalah salah satunya. Kemunculan hama-hama itu ikut dipengaruhi kondisi cuaca yang kerap berubah-ubah.
”Awal musim kemarau 2019 lebih kering dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada musim kemarau, hal yang perlu diwaspadai adalah serangan tikus. Kondisi kering sangat disukai tikus, mereka beranak-pinak di dalam lubang-lubang sangat cepat,” katanya.
Yuyu mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan tikus. Sebelum memasuki masa tanam, para petani melakukan pembasmian hama tikus secara serentak yang dinamakan kalagumarang.
Perburuan menjadi hal yang lumrah dilakukan para petani. Mereka berburu tikus yang bersembunyi di lubang-lubang pematang sawah. Alat yang mereka gunakan cukup sederhana, hanya bermodalkan ranting pohon dan sebilah bambu, selang panjang, dan pompa.
Akan tetapi, cara tersebut dinilai kurang efektif karena tidak bisa dilakukan secara berkesinambungan. Artinya, perburuan hanya dilakukan menjelang masa tanam. Padahal, tikus bisa mengintai mulai dari bibit tanaman padi disemai hingga masa panen. Begitu juga dari segi tenaga kerja, waktu, dan biaya, cara ini dianggap kurang menguntungkan.
Pengadaan sekali kegiatan kalagumarang setidaknya menghabiskan biaya Rp 400.000 untuk satu kelompok petani. Tikus yang berhasil ditangkap 100 hingga 500 ekor. ”Jika hanya dilakukan satu kali, percuma. Tikus akan terus berkembang biak menjadi ratusan dalam beberapa bulan saja,” ucapnya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan tikus. Sebelum memasuki masa tanam, para petani melakukan pembasmian hama tikus secara serentak yang dinamakan kalagumarang.
Sementara itu, penggunaan rodentisida (racun tikus) yang dipasang di lubang-lubang sawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Satu hektar sawah diasumsikan terdapat 100-200 lubang tikus. Maka, dibutuhkan setidaknya 100 batang rodentisida. Padahal, harga satu batangnya Rp 10.000. Jika dihitung, biaya minimal yang dikeluarkan petani Rp 1 juta-Rp 2 juta per hektar.
Pemanfaatan predator alami tikus, seperti ular dan musang, juga pernah dilakukan. Namun, hal itu tidak berjalan lama. Ular hanya mampu memakan satu sampai dua tikus per malam. Keberadaan musang di sawah justru mengancam sejumlah pelaku usaha bebek dan ayam. Musang tidak hanya menyerang tikus, tetapi juga unggas milik warga.
Predator alami tikus lainnya pun akhirnya dicoba, yakni menggunakan serak jawa. Konservasi serak jawa dilakukan di Desa Pasirmulya, Kecamatan Majalaya, pada 2018. Kecamatan ini merupakan salah satu daerah endemis tikus di Karawang.
Tahun 2015, petani di desa itu mengeluhkan hasil panen mereka tidak maksimal karena diserang hama tikus. Semula ada 10 burung yang dikembangbiakkan. Kini, telah ada 23 burung yang dilepasliarkan dan 5 ekor dalam karantina.
Pantauan Kompas, dalam kandang karantina berukuran 5 meter x 7 meter itu terdapat 4 rumah burung. Petani bergantian memberikan pakan tikus ke burung-burung itu. Memasuki area sawah, tampak menjulang rumah burung dengan tiang penyangga beton tersebar di pematang sawah. Jarak antara satu rumah dan rumah lainnya sekitar 200 meter.
Ketua Kelompok Tani Mekarsari II Desa Pasirmulya, Kecamatan Majalaya, Saepudin (55) menuturkan, berdasarkan pengalaman tahun 2015, para petani di desa itu banyak yang gagal panen karena padi dimakan tikus. Idealnya 1 hektar sawah menghasilkan 7-10 ton gabah. Saat diserang tikus, sawah hanya mampu produksi maksimal 3 ton gabah. Padahal, biaya yang dikeluarkan untuk satu kali tanam mencapai Rp 10 juta per hektar.
Yuyu menambahkan serak jawa lebih efektif karena burung jenis itu memburu tikus tiap malam selama hidupnya. Mereka mampu makan 5-10 ekor tikus setiap malam. Pihaknya berencana untuk menambah 50 unit rumah burung di tiga desa di Kecamatan Lemahabang dan Kecamatan Majalaya. Anggaran yang disiapkan Rp 175 juta.
Pengembangan program membasmi tikus dengan burung hantu ini dinilainya tidak mudah. Ia mengaku kesulitan untuk mengubah pola pikir petani. Meski demikian, tidak sedikit pula kelompok tani dan kepala desa yang mengajukan pelatihan dan pendirian rumah burung di desanya.
”Petani itu butuh bukti nyata, bukan sekadar teori. Studi banding akan dilakukan bergiliran,” ucapnya.
Meski begitu, Saepudin mengatakan, masih menggelar kalagumarang menjelang awal tanam. Jika biasanya mereka menangkap 1.000 tikus, saat ini mereka hanya menangkap paling banyak 350 ekor. Artinya, jumlah tikus berkurang karena keberadaan serak jawa.
”Jumlah tikus tidak sebanyak dulu, keberadaan serak jawa membantu kami,” ucapnya semeringah. Kini, di kelompoknya, petani mampu memanen rata-rata mencapai 10 ton gabah.