Hindari Ketimpangan dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pemindahan Ibu Kota
Sejak digulirkan wacana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, sebagian masyarakat khawatir megaproyek itu akan menimbulkan ketimpangan dan membuat daya dukung lingkungan menurun.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS - Sejak digulirkan wacana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, sebagian masyarakat khawatir megaproyek itu akan menimbulkan ketimpangan dan membuat daya dukung lingkungan menurun. Mereka berharap pemerintah membuat kajian lingkungan yang komprehensif dan memastikan masyarakat lokal tak terpinggirkan.
Hal itu menjadi garis besar diskusi "Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur" yang diselenggarakan oleh Yayasan Bumi di Balikpapan, Jumat (24/1/2020). Kegiatan itu diikuti oleh lembaga non-pemerintah, akademisi, dan organisasi kemahasiswaan.
Menurut rencana awal yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), lahan yang akan dipakai untuk calon ibu kota baru di perbatasan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sekitar 180.000 hektar. Angka itu kemudian berubah, setelah ada lahan yang dicadangkan sehingga totalnya menjadi 256.000 hektar.
Artinya, daerah-daerah yang akan terdampak berpotensi meluas jika ibu kota resmi pindah. Salah satunya Kelurahan Mentawir, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Letaknya sekitar 65 kilometer dari Kelurahan Pemaluan yang dikunjungi Presiden Joko Widodo pada Desember lalu. Daerah itu sebelumnya tidak masuk hitungan pembangunan ibu kota.
Lurah Mentawir M Yamani mengatakan, sekitar 60 persen dari 682 warganya hanya menempuh pendidikan terakhir SD. Mereka bekerja di sektor kehutanan, perusahaan tambang, dan nelayan tradisional.
Sekitar 60 persen dari 682 warganya hanya menempuh pendidikan terakhir SD.
Ia khawatir, kualitas sumber daya manusia warganya tak bisa bersaing dengan pendatang. Sebab, sekitar 1,5 juta aparatur sipil negara (ASN) akan dipindahkan bertahap jika ibu kota negara baru sudah resmi dipindah.
"Saya berharap, pemerintah daerah hingga pemerintah pusat punya program yang berkesinambungan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang baik dan unggul bagi masyarakat lokal," katanya.
Desa Mentawir baru mengakses listrik sejak 2 tahun lalu. Sebelumnya, masyarakat mengandalkan genset untuk pembangkit listrik. Ketika listrik masuk, jaringan telekomunikasi juga belum bisa diakses ke semua wilayah kelurahan. Itu membuat warga di sana belum bisa menikmati internet sebagai sumber informasi.
Forum itu sepakat bahwa hal itu tidak hanya menyangkut kawasan di sekitar calon ibu kota negara, tetapi juga di seluruh Kalimantan Timur. Mereka menilai, pemindahan ibu kota akan berdampak luas ke 10 kabupaten dan kota yang ada di Kaltim. Untuk itu, menyiapkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang laik diperlukan.
Daya dukung lingkungan
Selain itu, kekhawatiran menurunnya daya dukung lingkungan juga mencuat dari anggota forum. Menurut catatan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV Samarinda, terdapat enam kelompok hutan di sekitar calon ibu kota baru, antara lain Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Hutan Lindung Sungai Wain, Hutan Lindung Sungai Manggar, Hutan Produksi Batu Ampar, Hutan Produksi Sungai Bongan, dan Hutan Produksi Muara Sungai Riko.
Manager Yayasan Pro Natura Agusdin yang merupakan mitra pemerintah dalam mengelola Hutan Lindung Sungai Wain mengatakan, jika pembangunan beririsan dengan Sungai Wain, perlu dibuat wilayah koridor untuk satwa berpindah. Sebab, terdapat satwa yang hidup di hutan lindung itu, seperti beruang madu, orangutan, dan macan dahan.
"Binatang itu perlu kawasan yang menunjang untuk berpindah tempat. Jangan sampai terjadi konflik dengan manusia karena tak ada koridor untuk menunjang perpindahan tempat mereka," katanya.
Direktur Perkumpulan Sentra Program dan Pemberdayaan Lingkungan (Stabil) Jufriansyah mengatakan, pemerintah perlu membuat konsep kota hijau dengan mempertimbangkan sumber energi yang dipakai. Dia berharap, sumber listrik benar-benar berasal dari energi yang terbarukan. "Kalau kendaraannya saja yang ramah lingkungan, tetapi sumber listriknya masih dari PLTU, tidak ramah lingkungan jadinya," kata Jufriansyah.
Untuk itu, dia berharap pemerintah mengedepankan budaya lokal di Kalimantan dalam melakukan pembangunan ibu kota negara. Budaya lokal yang dimaksud bukan hanya berupa simbol-simbol bangunan, tetapi juga perspektif lokal dalam pembangunan.
Ketua Forum Peduli Teluk Balikpapan Husen mengatakan, pemenuhan kebutuhan air di lokasi calon ibu kota baru juga perlu mempertimbangkan satwa di hilir. Sebab, pemerintah berencana membendung air Sungai Sepaku untuk kebutuhan air warga ibu kota baru.
"Perencanaannya perlu matang dan mempertimbangkan habitat buaya muara di hilir. Jika dibendung di hulu, bisa jadi ancaman di wilayah Teluk Balikpapan," katanya.
Teluk Balikpapan berjarak sekitar 30 kilometer dari Kecamatan Sepaku. Total luas Kawasan Teluk Balikpapan lebih dari 180.000 hektar dengan kawasan hutan mangrove sekitar 19.400 hektar. Husen mengatakan, kawasan mangrove yang masih bagus tersisa sekitar 17.000 hektar, lebih dari 2.000 hektar sudah menurun kualitasnya.
"Selain terdapat keanekaragaman hayati, mangrove di Teluk Balikpapan juga berfungsi sebagai penjaga kawasan di sekitarnya dari bencana longsor dan banjir," katanya.
Direktur Yayasan Bumi Erma Wulandari mengatakan, saat ini pemerintah baru melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat di sekitar kawasan calon ibu kota. Untuk itu, kekhawatiran dan harapan berbagai elemen masyarakat ini akan diberikan kepada Bappenas sebagai pertimbangan menyusun KLHS yang komprehensif.
"Hasil diskusi ini akan diberikan unruk memperkaya kajian dan memberi masukan pemerintah. Anggota diskusi juga berharap, pelaksanaan pembangunan juga harus sesuai dengan kajian yang dibuat," kata Erma.