Kratom (Mitragyna speciosa) merupakan tanaman tropis asli Asia Tenggara. Namun awal September 2019, Badan Narkotika Nasional mengumumkan kratom masuk daftar narkotika golongan I.
Oleh
ATIKA WALUJANI
·3 menit baca
Awal September 2019, Badan Narkotika Nasional mengumumkan kratom masuk daftar narkotika golongan I. Sebenarnya, penetapan kratom dalam daftar narkotika golongan I terjadi tahun 2017. Dengan masa transisi lima tahun, maka pada 2022 kratom akan dilarang beredar.
Kratom (Mitragyna speciosa) merupakan tanaman tropis asli Asia Tenggara. Tanaman ini tumbuh liar di Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Papua Niugini. Tanaman yang banyak tumbuh di tepi sungai dan hutan ini semula tak dihiraukan. Hanya di Kalimantan Barat, daun kratom digunakan secara tradisional sebagai obat.
Pada Agustus 2016, Badan Pengawas Obat-obatan (DEA) Amerika Serikat mengusulkan kratom masuk schedule I drugs, yakni obat yang memiliki potensi tinggi disalahgunakan dan menimbulkan kecanduan berat. Zat lain yang tergolong schedule I drugs adalah heroin, LSD, mariyuana, dan ekstasi. Namun, Oktober 2016 usulan itu dicabut.
Sampai kini, kratom mudah dibeli secara daring di AS. Umumnya dijual dalam bentuk bubuk hijau. Kadang-kadang dijual dalam bentuk ekstrak, pil, kapsul, atau permen karet. Beberapa orang mengunyah daun kratom atau menyeduh sebagai teh, dijadikan rokok, atau dicampur ke masakan.
Menurut laman Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba (NIDA) AS, kratom mengandung zat aktif mitragynine dan 7-hydroxymitragynine. Zat tersebut berinteraksi dengan reseptor opioid di otak menghasilkan efek penenang, rasa senang, dan mengurangi rasa nyeri.
Mitragynine juga berinteraksi dengan sistem reseptor lain di otak untuk menghasilkan efek stimulasi. Jika dikonsumsi dalam jumlah kecil, pengguna merasa lebih bertenaga. Dalam dosis lebih tinggi, kratom bisa mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan eforia (merasa gembira dan bersemangat). Efek kratom terasa setelah 10 menit dikonsumsi dan berlangsung 2-5 jam. Efek kratom semakin kuat jika jumlah yang dikonsumsi semakin besar.
Meski demikian, kratom bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan efek samping yang berbahaya. Efek berbahaya kratom antara lain mual, kehilangan nafsu makan, gatal-gatal, berkeringat, mulut kering, konstipasi, banyak berkemih, sesak napas, kejang, dan halusinasi. Gejala psikosis (gelisah, sulit berkonsentrasi, depresi, gangguan tidur) juga dilaporkan terjadi pada sejumlah pengguna.
Tahun 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS mencatat setidaknya ada 44 kematian terkait kratom. Umumnya akibat kratom dikonsumsi bersama zat terlarang ataupun obat keras. Selain itu, sepanjang tahun 2011-2017, The National Poison Data System menerima sekitar 1.800 laporan terkait penggunaan kratom, setengahnya melaporkan dampak serius seperti kejang dan tekanan darah tinggi, bahkan terjadi 11 kematian. Sembilan kematian di antaranya akibat konsumsi kratom bersama obat seperti diphenhydramine (antihistamin), benzodiasepine (penenang), fentanyl (analgesik/penghilang rasa nyeri), alkohol, kafein dan kokain.
Meski dianggap obat herbal, kratom bisa menimbulkan kecanduan. Pengguna menunjukkan gejala putus obat (sakaw) jika berhenti mengonsumsi. Menurut laman Mayo Clinic, dalam sebuah penelitian yang menguji kratom sebagai obat untuk gejala putus obat opiod, orang yang mengonsumsi kratom selama lebih dari enam bulan dan berniat berhenti, melaporkan gejala putus obat seperti yang dirasakan saat berhenti menggunakan opioid.
Pada 6 Februari 2018, Komisioner FDA Scott Gottlieb menyampaikan bukti ilmiah bahwa zat yang terkandung dalam kratom berpotensi disalahgunakan. FDA mendorong lebih banyak penelitian untuk mengetahui profil keamanan kratom, termasuk penggunaannya bersama obat lain.