Selama lebih dari 100 tahun, keluarga Surip (27) melantunkan ”pat im”, seni musik khas China. Selama itu pula, Surip dan keluarganya menjaga permata keberagaman di negeri ini.
Oleh
abdullah fikri ashri
·4 menit baca
Selama lebih dari 100 tahun, keluarga Surip (27) melantunkan pat im, seni musik bernuansa China. Selama itu pula, Surip dan generasi sebelumnya, yang merupakan warga Muslim Cirebon, Jawa Barat, melestarikan kebudayaan Tionghoa dan indahnya toleransi.
Musik pat im mengalun pada malam perayaan pergantian Tahun Baru Imlek 2571 di Wihara Dewi Welas Asih di Jalan Perkantoran, Kota Cirebon, Jumat (24/1/2020). Alunannya kadang tenang, tetapi bisa lekas berganti cepat seperti musik dalam film-film khas ”Negeri Tirai Bambu”.
Uniknya, kali ini, pelantunnya adalah Surip dan enam anggota. Mereka bukan keturunan Tionghoa, tetapi kemampuan bermusiknya tak diragukan. Semakin istimewa lagi karena tak banyak keturunan Tionghoa bisa memainkan pat im atau dikenal di beberapa tempat sebagai cokek.
Mereka duduk melantai dengan alas tikar di dalam wihara. Di depannya, tersaji baskom kecil yang berisi tumpukan uang Rp 10.000 hingga Rp 50.000 dari pengunjung. Tidak ada pengeras suara dan vokalis.
Kelompok Pat Im Langgeng ini berasal dari Desa Dukuhwidara, Kecamatan Pabedilan. Sebenarnya, mereka berjumlah delapan laki-laki, sesuai makna pat im yaitu delapan atau sembilan nada atau alat musik. Namun, seorang personel tidak ikut karena kurang fit.
Ketujuh pemain malam itu membunyikan gender pelog, gambang pelog, seruling, dan terompet kecil suona. Ada pula pong ayan serta teh yan (mirip rebab), kecer (simbal kecil), dan truntum (gendang kecil).
”Umur alat musik ini sudah ratusan tahun. Warisan dari buyut saya. Katanya dari China,” kata Surip, pemain terompet sekaligus pimpinan rombongan.
Surip merupakan generasi keempat setelah kakeknya, Taryo; buyutnya, Wastar Rucita dan Warcita Gender. Warcita mengenal kesenian itu pertengahan abad ke-19 dari Babah Heng Liam, orang China asal Semarang, Jawa Tengah, yang menetap di Cirebon.
”Ya, ini kalau kesenian itu tidak gagu. Rasa, itu yang berbicara. Kalau telinga ayah dan telinga saya sendiri merasakan kesenian China itu indah, kenapa tidak kami pelajari,” kata Wastar saat diwawancarai Kompas, 25 Agustus 2001.
Dahulu, kesenian ini kerap mengiringi pentas wayang potehi, wayang kulit dengan latar budaya China. Dalam perkembangannya, pat im berdiri sendiri dan dimainkan saat hari besar orang Tionghoa, seperti peringatan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan kematian.
Malam itu, Surip mendendangkan lagu ”Ji Ji Kim” untuk menemani umat bersembahyang. Lagu bertempo pelan itu, katanya, bermakna ketenangan agar pendoa hanyut dalam munajatnya. Musik bisa berbeda ketika mengiringi arak-arakan Cap Go Meh atau lebih pelan saat upacara kematian. Rombongan ini juga siap melantunkan lagu yang dipesan pengunjung.
”Namun, sekarang yang request pasti orang-orang tua. Yang muda enggak ada,” ucap Surip yang belajar kesenian itu lebih dari satu dekade. Beberapa tahun terakhir, Pat Im Langgeng hanya tampil tiga kali setahun, termasuk Imlek, di Wihara Welas Asih.
Namun, sekarang yang request pasti orang-orang tua. Yang muda enggak ada. (Surip)
Kondisinya berbeda dibandingkan dengan sekitar 10 tahun lalu, katanya, mereka masih menerima permintaan pentas di kelenteng-kelenteng Indramayu, Majalengka, hingga beberapa daerah di Jawa Tengah, yakni Slawi, Pekalongan, dan Tegal. Penghasilan yang mereka dapatkan tak menentu.
“Kami tidak menetapkan tarif, seikhlasnya saja,” ucap Surip yang sehari-hari mencari nafkah sebagai pemusik grup tarling (gitar-suling) dangdut.
Meskipun bukan keturunan Tionghoa, ia dan keluarganya senang bisa meneruskan kesenian itu. Pria lajang ini bahkan berjanji meneruskan kesenian itu hingga masa tuanya. Surip dan keluarganya telah menambah napas panjang kesenian Pat Im.
”Kami sudah lama sekali berlangganan, turun-temurun. Tidak ada lagi yang bisa main begini (pat im). Mungkin peminatnya enggak ada,” kata Sungkono (77), Sekretaris Wihara Dewi Welas Asih. Ancaman memudarnya kebudayaan China justru berdampak pada Surip dan keluarganya yang bukan orang Tionghoa.
Penerus kesenian pat im yang jatuh pada warga Muslim Cirebon menunjukkan musik tidak mengenal sekat latar belakang agama dan etnis. Musik pula yang menyatukan keluarga Surip dengan keturunan Tionghoa, bukan malah memecah belah.
Fakta itu jadi potret kecil toleransi di Cirebon. Sungkono yang tinggal di gang Harapan Mulia, daerah Drajat, misalnya, menjadi satu-satunya warga keturunan Tionghoa beragama Buddha. Selebihnya Muslim.
”Tetapi, saya enggak pernah canggung. Menantu saya bahkan Muslim. Hidup kalau agamais memberikan kedamaian, jeleknya apa? Kita, kan, semuanya sama. Pada bae kabeh (semuanya sama),” lanjutnya.
Seperti ”Ji Ji Kim” yang dilantunkan Surip dan kelompoknya, harapan Sungkono memberi ketenangan di tengah panas yang kerap menempa keberagaman di Indonesia. Bukan pilihan yang mudah menjalaninya. Namun, selalu ada jalan bagi yang percaya semuanya bakal baik adanya.